JAWA POS Minggu, 07 Desember 2008 KATEGORI BUDAYA oleh Joni Ariadinata 19.17


[ Minggu, 07 Desember 2008 ]
Kambing

Di pintu surga nanti, ia adalah kambing yang sial. Daging memang gemuk-gempal, bulu putih mulus, tanduk melingkar kokoh, harapan hidup dan masa depan gemilang --ya ya, memang begitu, semua ihwal tentang syarat masuknya ''surga para kambing'' (seperti yang dikatakan Tuhan dalam kitab-Nya) telah tercukupi. Maka ketika roh baiknya dicabut, ia tersenyum. Di saat liang nafasnya ngorok lantaran sekarat, kamu bayangkanlah itu: ''darah ini muncrat melesat dari jantung muda dan sehat!'' Maka ia teramat ikhlas. Di kala lehernya yang mulus itu digorok dengan bismillah, lalu tulang penyangga leher itu ditebas paksa dengan suara ''krak!'' hingga menggelindinglah kepalanya dengan sukses (disertai sorak sorai anak-anak), ia masih begitu gembira. Lalu kakinya yang kokoh dipotong-potong, kulitnya yang mulus disayat-sayat, dagingnya diiris-iris, jerohan diobrak-abrik, hati dan jantung dicabut, tulang-belulang dicacah dirajang dipisah-pisah....

Maka rohnya yang suci dan penuh harapan pun terbang menuju pintu surga. Surga yang dijaga para malaikat (malaikat yang menyerupai kambing-kambing dengan ketampanan tak tertandingi). Lalu, pada saat itulah ia tahu bahwa ia adalah kambing yang sial. Seorang malaikat penjaga dengan tegas berkata: ''Tuhan telah berkata kepadamu, lewat perantara aku, bahwa kamu ditolak untuk memasuki surga.''

Demikianlah maka ia menggerutu tentang sebab-sebab nasib yang celaka.

Kampung Darjeling, itulah kampung para pencari surga yang ingin ia ceritakan. Di bawah terob deklit plastik saat seutas tali gantungan terpancang hebat, menjulur mengayun-ayun. Orang-orang menatap kagum, para lelaki, perempuan-perempuan, anak-anak, menantikan sesuatu. Berderet, bergimbung, ada yang pura-pura sibuk, menggobrol, menunjuk-nunjuk. Langit cerah. Angin sejuk. Di bawah deklit tali gantungan semakin hebat. Lalu meledak suara riuh: ''Mereka datang!'' Load speaker merek Toa dibunyikan: ''Sodara-sodara, binatang sudah datang. Harap bertepuk tangan!!''

''Semua takbir! Ayo, yang bisa takbiran, semua ikut takbir! Mumpung hari raya kurban. Yang hanya bisa ngomongin orang saja, kali ini diam! Ibu-ibu jangan cerewet. Cukup kalian lihat. Ke mana Usthaadd Mariot, he?'' Haji Dulroji sinis menyebut kata ''ustad'' dengan ''usthaadd'' lantaran kedudukannya di mata Tuhan lebih baik. Lalu tiga lelaki tua, peot, dan mungkin hampir mati, mengerti: mereka tertawa. Lalu seorang di antara yang tua, peot, dan mungkin hampir mati itu bilang: ''Usthaadd Mariot tak kelihatan. Tak datang. Dia pasti malu.''

''Apa perlu disusul?''

''Tak perlu,'' Haji Dulroji merebut mikropon yang dipegang Solsoleh. Solsoleh tentu bersikeras mempertahankan mikropon seperti membela nyawanya sendiri lantaran ''dalam rapat panitia besar, ia ditetapkan secara resmi menjadi pembawa acara''. Solsoleh memberi sumbangan untuk binatang sebanyak 20 ribu, itulah kenapa ia mendapat kehormatan sebagai pembawa acara. Sementara Kaji Dulroji (ia menyebut kata ''haji'' dengan ''kaji'' semata-mata lantaran benci), cuman menyumbang 5 ribu. Tapi demi Tuhan Yang Maha Penyayang (karena melihat bagaimana mata Kaji Dulroji melotot), ia ngeri, dan menyerahkan mikropon segera. ''Aku hanya pinjam mikroponnya sebentar, Solsoleh!''

''Nah, sodara-sodara,'' teriak speaker Toa dari mulut Haji Dulroji, ''sehubungan karena Usthaaaadddd Mariot tak datang (hadirin tertawa), maka kita mulai saja penyembelihan binatang. Tak perlu pake doa bahasa Arab untuk memulai pembunuhan binatang, karena hanya Usthaaadd Mariot yang biasanya suka pamer, pura-pura ngerti bahasa Arab (hadirin tertawa lagi). Tuhan tidak bodoh. Dia pasti ngerti bahasa kita. Setuju?''

''Setuju!''

Orang-orang bersorak. Bergimbung berkeliling. Membentuk lingkaran. Binatang yang baru datang (diiringi sorak sorai) digiring ke tengah naungan deklit, di bawah tali gantungan hebat. Ia adalah binatang, seekor kambing gemuk yang gagah. Ia yang sesungguhnya dididik oleh tangan gembala jujur. Dengan makanan rumput halal yang selalu dijemput dengan bismillah. Hingga pada sebuah pagi (sebuah pagi yang ia rasakan sebagai puncak kemudaan dan kegagahan), tubuhnya yang perkasa itu digiring menuju pasar hewan. Lalu seorang saudagar bernama Juragan Imron menaksirnya dengan penuh kekaguman. Pada saat bersamaan, muncul Lelaki Berpakaian Santri membawa segepok recehan terdiri dari uang logam ratusan, seribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan dengan ukuran fantastik: satu kantong plastik kresek. Demikian Lelaki Berpakaian Santri mengatakan: ''Uang hasil patungan warga Kampung Darjeling untuk satu ekor kambing gemuk!'' Gembala jujur menerima uang dari Juragan Imron tujuh ratus dua puluh ribu. Lelaki Berpakaian Santri membeli kambing gemuk dari Juragan Imron seharga delapan ratus dua puluh ribu, dengan pesan penting (didahului oleh ucapan assalamu'alaikum) sebagai berikut: ''Dalam kuitansi, catat harganya sembilan ratus lima puluh dua ribu!'' Tentu, Juragan Imron mengatakan dengan bijak: ''Biasa lah sodara, kita sama-sama maklum. Tambah dua puluh ribu untuk menaikkan angka kuitansi. Bagaimana?'' Kedua-duanya mengangguk. Kedua-duanya tertawa. Lelaki Berpakaian Santri menyeret binatang dengan impian bisa membelikan anaknya pakaian, sekaligus ''jatah daging paling banyak''. Sementara Juragan Imron melepas binatang dengan lega sambil menjawab ucapan salam yang berbunyi, ''Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh.''

Maka demikianlah binatang paling beruntung di hari raya kurban itu diseret menuju tiang tali gantungan. Haji Dulroji berkenan untuk tetap merebut mikropon dari Solsoleh, mengatakan dengan khidmat: ''Sodara-sodara, seperti kita ketahui bahwasanya Usthaaadd Mariot tidak datang karena malu. Kenapa karena malu? Karena sodara-sodara, seperti kita ketahui, dia tidak setuju dengan adanya kurban patungan. Nah, sehubungan dengan itu, saya minta sodara yang biasa membunuh binatang supaya maju menggantikan Usthaaadd Mariot!''

''Kalo dia tidak setuju kurban patungan, kenapa dia tidak kurban saja sendirian?''

''Nah, betul apa katamu Murod! Dia bilang, kurban patungan itu tidak sah. Nah, apa pendapatmu Murod? Seperti kita ketahui bersama, sodara-sodara, kurban itu yang penting adalah binatang. Binatang itu sekarang sudah ada, yaitu hasil patungan kita, warga yang beriman. Untuk itu, marilah sebelum kita bunuh, kita berdoa pake bahasa kita! Nah, sodara Murod, apakah kamu pernah membunuh binatang?''

''Saya pernah membunuh babi hutan.''

''Sebentar Pak Haji, apa perlu para penyumbang patungan itu diumumkan?'' seseorang menyela.

''Tidak perlu!!'' buru-buru Haji Dulroji mengelak dengan galak, tentu ia yang akan malu lantaran nilai patungannya cuman lima ribu. Ketika Ustad Mariot menuding pada saat rapat besar kampung, seminggu yang lalu, ia masih bisa mengelak dengan mengatakan: ''Sebagai haji, tentu aku sudah berniat berkurban. Tapi karena anakku mendadak minta dibelikan sepeda balap, maka niat itu terpaksa kutunda. Tahun depan aku pasti berkurban. Nah, sodara Ustad Mariot, daripada tidak ada yang berkurban sama sekali, bukankah lebih baik patungan? Nah, kurban itu yang paling penting adalah ada binatang, nah, bla-bla-bla...."

''Sodara Murod, apakah sudah siap membunuh binatang?'' kembali Haji Dulroji memberi perintah. ''Tak usah diumumkan. Tuhan toh sudah tahu siapa yang beriman dan siapa yang tidak.''

''Sebentar Pak Haji, ada surat dari Kepala Dusun!'' seseorang menyeruak maju. Haji Dulroji kembali mangkel. ''Surat apa, heh?''

''Katanya amanat. Penting.''

Haji Dulroji menggerutu. Ia menerima amanat penting dan membacanya dalam hati: ''Kepada Haji Dulroji, ulama kepala panitia kurban. Sehubungan saya mendengar akan ada perayaan yang di dalamnya ada menyembelih kambing. Maka sehubungan istri saya hamil dan tadi malam nyidam dan ada permintaan perihal daging kambing. Maka harap setelah selesai penyembelihan, dikirim buntut dan satu paha kanan belakang untuk kepentingan nyidam dimaksud. Harap diteruskan kepada yang berwenang membagikan daging kambing. Sekian dan terima kasih. Tertanda Ngadimin Basir Kepala Dusun.''

Haji Dulroji komat-kamit tak jelas. Hadirin mendekat tak sabar, merubung hingga Haji Dulroji sontak marah: ''Yang tidak berkepentingan bubar! Coba, panitia inti berkumpul. Kita rapat darurat!'' Tentu, mendengar kata rapat darurat (yang artinya adalah pasti gawat), 23 orang panitia inti yang terdiri dari 7 sesepuh sebagai koordinator setiap seksi, serta 16 anggota tetap langsung mendekat. Rapat bisik-bisik. Surat amanat kembali dibaca bisik-bisik. Tegang. Seseorang sesepuh bilang tak apa. Yang lain usul jangan paha kanan, buntut dan kaki kanan saja. Hus, lelaki ketua RT yang adalah masih famili Kepala Dusun menggerutu. Sukarim, ketua seksi undangan yang sejak awal memang gelisah, bilang dengan malu, ''Sebetulnya saya kepingin terus terang, istri saya kurang darah, tentu saja kalau boleh saya mau minta hatinya, dan juga jatah daging tentu, yah... begitulah yang namanya penyakit, saya pikir semua pasti setuju, yah...'' Demi mendengar hal-hal kegawatan soal penyakit, tiba-tiba semua wajah mendadak cerah. Sepertinya telah datang ilham-ilham yang baik. Haji Dulroji berkata jujur, ia kena asam urat, maka untuk jatahnya tak boleh tercampur usus, ''harus daging semua''. 10 orang langsung mengatakan setuju, sambil mengatakan bahwa akhir-akhir ini mereka juga merasa darah rendah, ''kalau berdiri suka agak pusing,'' katanya. Walhasil, bagi yang mengatakan darah rendah, jatahnya harus ditambah. Ada yang usul secara istimewa bahwa sudah seminggu ini dua anaknya bertengkar terus, harus dikasih torpedo katanya, biar rukun. ''Maksud sodara Sali, dikasih kontol kambing? Itu memang baik untuk merukunkan dua saudara yang bertengkar, baik, nanti kita tambah jatahnya dengan torpedo.'' Semua tertawa. Lucu. Akhirnya rapat darurat ditutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang mengagumkan. Seluruh panitia inti bisa bernafas lega, sampai ketika tiba-tiba Ahmad Masri bertanya: ''Bagaimana dengan jatah Ustad Mariot?''

Panitia inti yang nyaris bubar dengan tertawa, tiba-tiba hening. Menatap Haji Dulroji dengan tegang.

''Tak usah dikasih! Dia kan tidak setuju,'' Haji Dulroji berkata tegas.

''Tapi bagaimanapun dia imam di surau. Dan juga sering ngisi pengajian di kampung sebelah. Bagaimana kalau dia terus ngomongkan fitnah di kampung sebelah?'' Nah, ini dia muncul persoalan, dan baru terpikir oleh semua, bahwa Ustad Mariot bermulut tipis, nyinyir, dan ceriwis. Maka, demi melihat kegawatan muka-muka panitia inti yang mendadak terdiam, dengan bijak akhirnya Haji Dulroji mengambil keputusan penting. Sebuah keputusan yang diyakini semua pihak berdasarkan ilham yang datang dari Tuhan.

''Kalau begitu, kita kirim kepala kambing!''

Rapat bubar. Di bawah tali gantungan yang hebat, Murod komat-kamit berdoa, dengan gobang berkilat. Siap membunuh.

Adalah kambing sial, yang seluruh jiwa dan raganya telah dipasrahkan pada kehendak takdir. Di bawah naungan deklit. Angin sejuk. Matahari yang cerah. Kegembiraan orang-orang. Sesungguh-sungguhnyalah ia adalah kambing gemuk perkasa, yang dibesarkan oleh tangan gembala jujur. Dengan rumput halal yang senantiasa dijemput dengan bismillah. Maka ketika rohnya tercerabut, ia terbang dengan penuh keyakinan menuju pintu surga. Terbang diiringi gema takbir bersama jutaan roh-roh binatang suci yang datang dari berbagai penjuru. Demikian ia tak pernah paham, bahwa keputusan Tuhan atas nasibnya yang gemilang, lantaran terhalang oleh kemarahan seorang lelaki. Begitulah malaikat penjaga surga itu menceritakan, tentang seorang lelaki miskin yang tiba-tiba beringas. ''Ia adalah lelaki miskin yang menenteng kepala kambing penuh darah dari pintu rumahnya. Lelaki itu kemudian berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan ''kepala kambing haram''. Dan dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang.''

Jogjakarta, Desember 2008

Cerpen Joni Ariadinata

Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

JAWA POS Minggu, 14 Desember 2008 KATEGORI BUDAYA 05.04


[ Minggu, 14 Desember 2008 ]
Laki-Laki Ke-5


Pertanyaan pertama: apakah kau perempuan?

Pertanyaan kedua: apakah orientasi seksualmu hetero?

Bila kedua jawaban tersebut adalah ''ya'', maka inilah pertanyaan ketiga: pernahkah berpikir untuk menghitung berapa laki-laki yang berkelindan di dalam hidupmu?

Bila ada salah satu yang terjawab ''tidak'', maka tidak ada pertanyaan lanjutan. Pembacaan ini boleh saja dilanjutkan, atau bisa saya dihentikan. Terserah opsi mana yang terpilih.

Ini sama sekali bukan sebuah uji statistik, bukan pula sebuah pikiran iseng yang mendatangi ketika keadaan diri sedang atau kosong tanpa berkegiatan. Tiba-tiba saja pertanyaan itu menghampiriku suatu ketika --tanpa merasa perlu untuk menjelaskan alasan yang melatarinya-- dan menggandengku untuk menelusuri jalur perjalanan masa silam dengan sosok laki-laki di beberapa perhentiannya.

Banyak laki-laki kutemui di sepanjang perjalanan, tidak semuanya mampu membuatku untuk benar-benar berhenti dan singgah dalam kehidupan mereka.

Di antara yang menghentikanku itu, tidak setiap kali kumaksudkan perhentianku sebagai sekadar singgah. Ada beberapa di antaranya yang membuatku ingin menetap. Membuatku tidak ingin pergi lagi. Bukan karena aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, melainkan lebih karena merasa telah menemukan sebuah ''rumah'' yang tepat, yang membuatku selalu merasa ingin berada di dalamnya.

Tapi agaknya dinamika kehidupan tidak selalu terwujud seperti yang kita inginkan. Banyak hal mengondisikanku untuk tidak menetap, melainkan hanya singgah untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Dengan atau tanpa keinginan. Meninggalkan luka atau sekaligus membawa kepahitan. Beberapa luka itu tersembuhkan dengan cepat, namun di antaranya ada yang memiliki sayatan begitu dalam sehingga meski di permukaan nampak pulih, namun sesungguhnya luka di dalamnya masih menyimpan kepedihan yang terbawa ke mana pun. Luka dalam ingatan yang tak beranjak pergi meski dihantam dengan antibiotik dosis tinggi sekalipun.

Persinggahan pertama itu tidak akan pernah kulupa.

Seorang berbeda iman, namun melakukan satu hal untukku yang melekat dalam ingatan hingga hari ini.

''Pukul berapa ibadahmu besok?'' tanyanya pada suatu akhir pekan

''Entahlah,'' jawabku ringan. ''Belum kutahu akan kupilih pagi atau sore hari.''

Namun ternyata aku bangun terlalu pagi hari itu hingga kusiapkan diri untuk mengikuti ibadah pertama.

Lalu kutemukan dirinya di depan pintu diam-diam menunggu untuk mengantarku beribadah. Pagi begitu muda ketika itu, bahkan kabut masih berserak di beberapa tempat dengan dingin yang menebar. Namun alangkah hangat perhatian yang disentuhkannya padaku.

Pagi itu aku merasa sangat dicintai, sekaligus sangat mencintainya. Ketika berada di boncengan motornya, alangkah ingin aku memeluknya. Namun aku terlalu rikuh untuk melakukannya, maka hanya kusandarkan diri pada punggungnya. Punggung yang hangat, yang menghadang angin menerpaku.

Sandaranku yang pertama.

Sampai suatu ketika dia absen beberapa lama dari kampus dan seorang teman tanpa prasangka memberitahu bahwa dia harus pulang kampung karena tunangannya sakit.

Tunangan?

Aku gemetar ketika itu, apalagi saat kudapati jawaban yang tanpa beban.

''Apa istimewanya pertunangan? Janur belum melengkung, aku masih punya hak untuk berganti pilihan, dan aku akan memilihmu,'' katanya tenang, meyakinkanku.

Namun tidak ada keyakinan di dalam diriku bahwa pilihannya padaku akan bertahan selama yang kuinginkan. Andai pun janur telah melengkung untukku, bisa terjadi akan dimilikinya dalih untuk menegakkan janur itu kembali demi mengesahkan hasrat untuk berganti pilihan.

Maka, aku memilih untuk tidak terpilih.

Aku berkemas dan beranjak pergi dari sandaran hangat itu, sembari membawa kepedihanku. Sayatan lukaku yang pertama.

***

Laki-laki yang kedua adalah seseorang yang pada mulanya menjadi sahabat.

Seorang dengan kecerdasan terbaik yang pernah kukenal, sekaligus memiliki nilai-nilai moral yang sedemikian lurus. Sedemikian rupa kelurusan itu teguh mengakar di dalam dirinya sehingga membuatnya terlalu keras pada diri sendiri dan orang lain.

Digariskannya satu keyakinan bahwa perempuan selayaknya tidak hanya mengoleksi indeks prestasi tinggi pada rapor hidupnya, melainkan juga keahlian meracik bumbu di dapur sekaligus melahap banyak literatur.

Sementara kutemukan di dalam diriku bahwa aktivitasku di dapur hanyalah merebus air atau telur. Indeks prestasi kumulatifku selalu tidak lebih dari 3 (dengan skala 4). Dan literatur yang kulahap hanyalah fiksi roman.

Maka, aku merasa menyusuri lorong labirin. Teduh lorong itu dengan dinding yang kuat. Mengamankan aku dari ancaman cuaca atau sergapan bahaya apa pun. Aku tak akan terhantam oleh angin, hujan, panas apalagi dingin. Setiap jengkal dinding bisa kusandari dengan rasa aman yang meyakinkan.

Namun sekaligus itu adalah labirin yang melelahkan, yang memberikan tekanan pada setiap langkah untuk menjadi sebagai seseorang dengan kualitas yang memenuhi standar-standar terpancang, sementara tidak kumiliki cukup daya untuk mencapai standar itu.

Maka aku menyerah.

Lalu dibukanya pintu dan dilepasnya aku pergi. Tanpa saling melukai atau menyimpan sakit hati. Kesepakatan bersama lebih karena terlalu banyak hal yang mesti dipertimbangkan demi keselarasan.

Namun ternyata kami tak pernah benar-benar saling pergi. Selalu ada kesempatan untuk saling mengunjungi beranda masing-masing, mengunyah remah-remah kedekatan yang tersisa. Meneguk minuman pertemanan yang tidak selalu manis dan hangat, melainkan terkadang pahit dan bahkan membuat tersedak. Namun keping persahabatan selalu tersedia dan tersimpan rapi di dalam stoples benak kami masing-masing. Jalinan persahabatan yang tak usai hingga kini.

***

Laki-laki ketiga adalah seorang anak bungsu yang mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian penuh dari seluruh keluarga, terutama ibunya. Sedemikian rupa perhatian itu menguasainya sehingga dia mengira akan mendapatkan hal yang sama dari semua orang. Bahkan merasa berhak untuk menuntut apa yang diinginkannya.

Ketika itu aku sedang dalam masa awal meniti karir, sehingga sedemikian bergairah mengerjakan tugas-tugas kantor, bahkan membawa pulang kertas-kertas kerja untuk lembur di rumah. Suatu ketika kertas kerja itu membuatku tidak terlalu mempedulikan kedatangannya. Maka, begitu saja direbutnya kertas kerjaku dan dihamburkannya berserak.

Kemarahan yang sama sekali tak terduga. Sangat mengejutkanku. Namun, kemarahan itu ternyata segera mereda dengan belaian dan kecupan yang kuberikan. Sama persis dengan seorang anak yang mereda tangis dan rengekannya ketika mendapatkan permen atau mainan yang diinginkannya.

Tidak sulit sebetulnya mengendalikan tipikal laki-laki semacam itu, yang diperlukan hanya kesabaran. Tapi, masalahnya tidak kumiliki persediaan kesabaran yang memadai.

Suatu kali aku dikejar oleh deadline sebuah tugas yang sangat mendesak. Kukerjakan tugas itu di dalam mobil sementara dia mengemudi. Kupikir tugas itu bisa selesai sebelum kami sampai di tujuan sehingga acara kami tidak akan terganggu, sekaligus tugasku selesai dengan rapi tepat waktu.

Tapi, mendadak kemudian direnggutnya kertas-kertasku, dirobek, dibuang, dan diusirnya aku dari mobilnya. Aku turun dengan segera, tanpa sempat terkejut dan mengejar lembaran kertasku yang terbuang. Aku tidak ingin kehilangan kertas-kertas itu karena tidak ada waktu lagi untuk mengulang mengerjakannya. Lalu kucari angkutan umum, meski dia memohon padaku untuk kembali ke mobilnya.

Tidak. Aku tidak hanya tidak kembali masuk dalam mobilnya, melainkan pergi dari seluruh kehidupannya. Kuyakinkan pada diri sendiri bahwa tidak kumiliki kesabaran seorang ibu, apalagi pengabdian seorang pengasuh.

Benar bahwa suatu kali nanti aku akan menjadi ibu dan akan kuasuh anak-anakku dengan kesabaran dan kasih sayang. Tapi aku tidak akan menjadi ibu dan pengasuh bagi seorang laki-laki berumur seperempat abad yang selayaknya menjadi sandaranku.

***

Lalu, perkembangan karirku menyita hari-hariku hingga bertahun-tahun kemudian. Seakan kujejaki dunia baru yang membuatku sedemikian bergairah, memberiku kecukupan dalam banyak hal dan tidak memberi jeda untuk mencari hal-hal yang menggelisahkan sekaligus merepotkan semacam laki-laki.

Hingga kemudian kutemukan laki-laki keempat itu.

Seseorang yang membawaku kembali pada dunia dan komunitas yang lama kutinggalkan. Seorang laki-laki bukan bujangan yang bertahun kemudian masih mengingat gaun yang kukenakan kala pertama kali bertemu dengannya. Seorang laki-laki yang pada pertemuan kedua telah menempatkan aku di dalam pelukannya. Pelukan yang mengembalikan ingatanku tentang kenyamanan rasa bersandar. Rasa yang telah terlupa dan seakan tak kuperlukan lagi.

Seorang laki-laki yang keberadaannya membuatku harus melakukan permainan serupa layang-layang. Tarik ulur lambungan rasa antara kangen dan dirindui serta perasaan terhempas ketika terjauhi.

Permainan yang sesungguhnya mengasyikkan, memicu adrenalin sekaligus membimbangkan ketika ingatan pada etika moral memberikan peringatan. Berapa lama permainan semacam ini akan bertahan?

Lalu pada suatu ketika kuputuskan untuk mengakhiri permainan itu. Kurenggangkan tali dari genggaman, dan kurasakan benang bergerak perlahan menelusuri telapak tangan dan akhirnya terlepas, mengikuti gerak layang-layang melayang pergi terbawa arah angin. Tak ada kesedihan ketika itu, serupa melepas kertas melayang tak berarti.

Sampai kemudian pemilik layang-layang itu datang dan memberiku sebuah buku cerita dengan tokoh utama memiliki nama yang sama persis dengan nama lahirku, sekaligus tahi lalat pada posisi yang serupa dengan yang kupunya. Itu adalah tahi lalat air mata. Setitik bercak hitam persis di bawah garis mata sebelah kanan. Dan, nama lahir itu, adalah nama lahir yang tidak lagi kupakai dan sangat sedikit orang mengetahuinya. Laki-laki itu tidak termasuk di antara yang sedikit itu.

Barangkali itu hanya semacam kebetulan. Namun alangkah mengharukan ''kebetulan'' itu bagiku.

Maka, kemudian kutemukan sesuatu yang berserak di dalam diriku. Serakan serupa kepingan yang berasal dari patahan bernama hati. Patahan yang senantiasa memunculkan luka. Maka kupungut kepingan berserak itu, bukan untuk disusun kembali -karena niscaya akan terlalu banyak retakannya- melainkan untuk disimpan sebagai kenangan.

Kepatahan yang memicu kesendirian, yang menghampiri dan menggigitku dengan ketajaman taring-taringnya. Untuk pertama kalinya aku merasa gentar menghadapi kesendirian, yang selama ini kunikmati bahkan kucari dengan gagah berani. Kali ini aku gentar, oleh suatu kesadaran betapa getir kesendirian itu sesungguhnya.

Lalu rasa takut itu merayapiku, dan menggerakkanku untuk menemukan laki-laki kelima, yang suatu kali pernah kuabaikan.

Serupa menemukan plester penutup luka, aku tahu bahwa seseorang ini akan mengatasi lukaku untuk sementara. Sementara, karena aku tahu dengan pasti laki-laki itu memiliki banyak hal yang tidak kusuka. Tipikal pemberontak yang tak pernah memiliki basa-basi, namun menyimpan koleksi puisi yang memabukkan.

Tanpa basa-basi apalagi permisi, laki-laki itu menyergapku pada sebuah dini hari dengan sebuah pagutan. Pagutan yang sangat telak sekaligus kurang ajar. Namun justru menjadikannya sebagai pagutan menggetarkan yang membekas lama dalam ingatan.

Lalu, ditemukannya kemulusanku yang menakjubkannya, dan kemudian dijelajahinya tanpa mampu kucegah.

''Kau milikku dan aku akan menjadi laki-laki pertama yang menelanjangimu,'' katanya sepenuh keyakinan.

Sangat kurang ajar.

Namun yang kudapati pada diriku bukan rasa marah, melainkan rasa tertaklukkan. Sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Kini aku mencecapnya, menikmatinya dan bahkan menghendakinya kembali pada suatu ketika. Dominasi laki-laki itu atasku menjejakkan sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Dominasi itu entah bagaimana, tidak terasa menjajah, namun justru melenakan.

Alangkah ambigunya perempuan.

Selalu tidak ingin dianggap lemah, kerapkali merasa dilecehkan, namun pada sisi yang lain muncul keinginan untuk ditaklukkan, mencari sebuah dekapan yang mampu membuat diri ingin menyerah pasrah.

Tapi mengapa aku harus menyerah oleh karena sebuah interaksi yang bahkan tidak melibatkan cinta di dalamnya, selain hanya ketakjuban sesaat? Namun pada saat yang sama aku juga tidak ingin kehilangan, sekaligus pula aku bukan pula seorang yang bisa sungguh-sungguh menyerah. Kontradiksi yang membimbangkan, memicu segala gerak yang tanggung.

Dengan segera penyerahanku yang tanggung membuatnya gusar.

''Kau perempuan paling tidak jelas yang pernah kutemui,'' katanya habis sabar. Lalu pergi.

Apakah kalian tahu rasanya ditinggalkan?

Itu adalah perasaan yang membuatmu serupa jerami, batang padi yang kosong tak berguna setelah masa panen. Merasa sia-sia setelah dieksplorasi tuntas selama masa pertumbuhan.

Maka, aku tidak mau ditinggalkan.

Aku hanya mau meninggalkan.

Aku tidak sudi ditinggalkan, apalagi oleh seseorang yang telah menelusuri sudut-sudut terjauh di dalam diriku.

Tapi, laki-laki itu berlalu dariku.

Aku diam, sendirian, dengan perasaan tersayat. Lalu lelatu, bunga api dendam mulai memercikkan api yang melayang ....

Tidak mudah menyingkirkan seseorang dari ingatan. Otak manusia tidak terkonfigurasi serupa perangkat komputer bertombol delete, yang akan menunaikan tugasnya menghapus sebuah file, ketika tombol itu ditekan atau diklik. Program ingatan di benak manusia memiliki sistem tak terjelaskan untuk mengingat atau melupakan sesuatu atau seseorang.

Aku tidak menghendaki seorang yang telah meninggalkanku, berdiam di dalam ingatanku, sementara tombol delete itu tidak kupunya dan ingatan tidak selalu menaati kehendakku.

Maka, cara terbaik menyingkirkan laki-laki itu adalah dengan membunuhnya. Itu cara tepat menyingkirkan seseorang dari duniaku, meski belum tentu akan terenyah dari ingatan.

Ya, laki-laki itu harus kubunuh.

Kuhembuskan napas panjang. Kureguk sisa kopi di cangkir.

Baiklah, akan kupikirkan beberapa alternatif cara terbaik untuk membunuh laki-laki ke-5 itu, dalam beberapa hari ini. Sebuah cara membunuh yang elegan, rapi, dan tak berjejak.

Lalu, kumatikan laptop dengan satu sentuhan.

Aku yakin redaksi yang baik hati itu akan sabar menungguku menemukan cara membunuh yang terbaik.

Deadline surat kabar itu masih beberapa hari lagi. (*)

Cerpen Sanie B. Kuncoro
Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

Cerpen JAWA POS kategori Pelajar 28 Juli 2008 04.42


[ Senin, 28 Juli 2008 ]
Impian Besar Sumirah
Oleh Yoyok Hariyanto








Sumirah masih saja diam, menatap tajam bulan keemasan yang cahayanya menyiram segala penjuru Desa Watu Itheng. Sebuah desa paling timur di Kecamatan Pulung. Desa itu bernaung jauh dari keramaian Kota Ponorogo, yang moncer oleh seni reog. Desa yang masih asing tersentuh oleh pembangunan. Desa yang masih kental menjunjung tradisi animisme dan dinamisme. Walaupun sebenarnya, masyarakatnya sudah mengenal dan memeluk agama Islam. Desa yang seakan terlupakan. Terlupakan oleh kemegahan dan kemajuan zaman.

Malam itu, cahaya bulan hinggap di atas lembaran-lembaran daun dan celah ranting pohon cengkih. Pohon yang menyembunyikan Watu Itheng jika dilihat dari kejauhan. Pohon penunggu Watu Itheng yang setia. Di bibir jendela kamar, Sumirah melemparkan tatapan mata dari bulan ke kunang-kunang yang bertebaran di sekeliling rumahnya. Rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari glugu, sebagian lagi gedhek. Kunang-kunang itu menari-nari diiringi orkestra musik merdu yang mencengangkan pendengaran dan tata lampu yang membius penglihatan. Orkestra musik suara serangga-serangga malam dan tata lampu alami cahaya bulan purnama. Berjuta kunang-kunang itu seakan berusaha menghibur hati Sumirah yang sedang gundah.

Sumirah termenung. Matanya yang bulat mulai jernih dan berkaca, meneteskan butiran-butiran air mata kecil, kemudian mengalir semakin deras. Melewati pipinya yang hitam berminyak, lalu ke dagunya yang mungil. Menetes membasahi lantai kamarnya yang sepenuhnya tanah, kering, dan berdebu. Namun, sangat lembap di musim penghujan.

Sumirah terpaut memikirkan nasib yang menimpanya. Nasib buruk yang menggadaikan masa remajanya. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMU harus dia kubur dalam-dalam. Terkubur bersama dalamnya akar pohon cengkih di tanah Watu Itheng. Ada sesuatu hal yang mengurung keinginannya itu. Apalagi impiannya untuk menjadi sarjana sudah tak mungkin lagi. Terpaksa keiginan tersebut harus dia gugurkan. Gugur seiring daun kering preng kuning yang kerap rontok mengotori genting rumahnya. Lalu, sesekali terlihat burung gelatik membawa terbang daun kering itu untuk membuat sarang di atas celah pinus ireng yang menjulang tinggi.

Kehidupan ekonomi di desa memang tak selamanya menentu. Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yang sangat mencekik. Hal itulah yang menjadi kendala impian Sumirah. Tetap hidup di desa dengan segala kemiskinan dan keterpurukannya atau bekerja merantau ke negeri orang sebagai TKW atau TKI. Begitulah tradisi yang berlaku bagi gadis seusianya. Mereka harus rela menggadaikan masa remaja demi menyulap kehidupan. Menyulap kemiskinan. Sementara itu, keberhasilan wanita-wanita Desa Alas Cendhek yang bekerja sebagai TKW cukup memengaruhi wanita Watu Itheng untuk mengikuti jejaknya. Ditambah lagi, para calo TKW sudah menjalar di desa itu. TKW seakan dianggap sebagai sebuah tradisi.

***

Malam bergulir menjadi pagi. Cahaya fajar dan kabut putih merambahi desa yang seolah sisa dinginnya malam lenyap berganti hangat tersiram sinar mentari pagi. Seperti biasanya, Sumirah bergegas mengambil seikat sapu lidi, kemudian setengah lari menuju halaman rumah. Membersihkan daun-daun kering yang mengotori halamannya itu.

"Inikah hukuman yang menimpa desa ini? Kemiskinan semakin terpuruk. Apakah ini akibat penduduknya kurang mengenal-Mu, Tuhan?" pikir Sumirah ketika sejenak terhenti dari ayunan sapunya.

"Sum... Sumirah, Sum.....!"

Lamunan Sumirah seketika putus, kemudian menolehkan arah matanya pada sumber suara yang memanggil namanya. Dari kejauhan, di balik titik-titik embun pagi, tampak Marmi sedang berlari kecil menuju tempat Sumirah berpijak.

"Sum, rajin bener we," sapa Marmi memulai pembicaraan dengan setengah terputus-putus karena kehabisan tenaga setelah berlari.

''Ah, biasa saja, Mar. Ada apa kok seperti ono sing penting?"

''Itu Sum, teman-teman kita di SMP Pulung dulu sudah habis, Minah, Parmiaten, Minten, Ratna, Kitri, bahkan temanmu sebangku dulu, Jumayah, sekarang sudah di kota. Katanya, sepasar lagi terbang ke Arab. Tepatnya, Kemis legi depan. Ya, kata orang tua dulu Kamis yang jatuh pada hitungan legi merupakan hari baik untuk memulai usaha. Tepatnya disebut lawang rezeki".

''Mengapa to mereka harus menjadi TKW ke Arab, Abu Dabhi, kalau keselamatan dipertaruhkan? Lihat saja Bulek Ndari tahun lalu pulang dengan membawa anak, lalu Mbak Tumi yang baru sebulan di Arab langsung dipulangkan akibat dianiaya majikannya, apa itu yang dikatakan perlindungan?" sahut Sumirah setengah marah, seketika keningnya ikut mengerut.

"Ya, aku sih tak tahu Sum. Tetapi, apa lagi yang harus kita perbuat, apa kita harus tetap di desa dengan segala kemiskinan kita? Kau kan juga tahu Sum, biaya sekolah sekarang mahal. Aku tahu dari Novianti. Dia kan teman kita satu-satunya yang melanjutkan sekolah ke kota. Ya, mungkin lantaran dia anak Pak Lurah Lenjeng. Katanya, harus membayar dua juta, berapa lebihnya sih kurang jelas. Katanya juga buat otonomi komite sekolah begitu. Orang kecil seperti kita mana sanggup. Apalagi panen cengkih juga tak seberapa. Memangnya otonomi karo komite sekolah itu opo to Sum?"

Sumirah hanya menggeleng. Diam. Diam begitu lama.

"Ah, terserah padamu Sum, aku sudah didaftarkan simbokku pada Pak Prayitno, itu penyalur TKW di Alas Cendhek. Aku terserah saja Sum pada hidup ini. Mungkin inilah takdir, nasib, nasib jadi orang cilik. Toh, dadi wong urip iku kudu biso nerimo, syukur karo sing gawe urip. Kehidupan yang bagaimanapun pasti akan musnah, Sum. Ora ono sing adiluhung. Tak ada yang abadi. Tak terkecuali kehidupan kita. Kekayaan, kemiskinan itu sudah ada yang mengatur. Aku pasrah Sum," sudut Marmi dengan tatapan kosong.

***

Pernyataan Marmi semakin membuat hati Sumirah tercengang penuh cemas. Akankah teman-temannya akan menganut tradisi itu? Tradisi yang berujung pada hasil yang tak pasti. Seperti seekor semut hitam di atas batu hitam di malam hari yang gelap gulita. Sangat sulit dilihat. Sulit pula ditebak. Sumirah takut kekhawatiran yang dia rasakan akan terjadi.

Sumirah bertanya-tanya. Apakah tradisi TKW akan tetap mereka anut selamanya? Apakah desanya akan tetap begini selamanya? Apakah anak remaja seusianya akan bernasib sama seperti anak remaja Watu Itheng atau Alas Cendhek? Remaja yang seakan terkurung di dalam sangkar tradisi. Budaya yang menjerat sayap cita dan asa sang remaja untuk terbang. Terbang mewujudkan cita dan harapan.

Begitu lama Sumirah berpikir dan diam. Seketika muncul cahaya harapan di lubuk sanubarinya. Kecemasan lenyap bagai terserang bom atom yang menghancurkan segala kecemasan itu menjadi keping-keping harapan. Dalam hati Sumirah berdesis, "Aku harus bangkit. Bangkit dari segala tradisi buruk yang mengikatku. Aku ingin melanjutkan sekolah, bukan menjadi TKW. Akan kusampaikan pada pohon cengkih dan preng kuning yang seakan kesepian ini bahwa aku ingin kembali. Kembali menjadi remaja yang dapat menggantungkan cita dan harapan pada hari ke depan. Aku harus menebarkan cahaya kemajuan di desaku ini. Entah apa yang kulakukan esok. Yang terpenting adalah menentukan jalan hidupku terlebih dahulu".

Senja datang memeluk erat malam. Angin bersemilir mengelilingi tubuh Sumirah. Angin itu seakan mengubah pola pikirnya. Dia sadar bahwa hidupnya tidak sebatas ditentukan tradisi. Jalan hidupnya hanya ditentukan oleh dirinya sendiri dan tentu saja atas kehendak Tuhan.

Sumirah tak sabar menunggu fajar merambahi desanya esok pagi. Seiring itu, dia ayunkan langkah baru bersama mentari esok pagi. Di atas langit-langit rumahnya, dia menuliskan asa dengan tinta harapan.

"Akulah Sumirah. Gadis desa yang akan menyalakan cahaya kemajuan di desa ini. Tradisi tak dapat mengurung cita dan asaku. Aku ingin berlari sekencang angin. Angin yang membawa jalan kehidupanku. Tersenyum riang menyongsong masa depan. Memburu cita seperti layaknya teman-temanku yang lain di seluruh dunia."

Penulis adalah siswa SMAN 1 Ponorogo


Copyright @2008 IT Dept. JawaPos
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Fatimah, Imazahra 04.18

Fatimah, Imazahra
Episode Ibunda guru Amiroh

Aku berasal dari pulau Kalimantan, yang SD nya saja sekarang telah rata dengan tanah. Namun aku punya mimpi ingin sekolah setinggi-tingginya! Aku menggenggam bara asa walau duka lara silih berganti menyapa. Alasan yang sangat klasik tapi nyata, kemiskinan membelitku seperti remukan ular kobra! Kepapaan dan tanggung jawabku sebagai anak pertama juga pernah membuatku berhenti ingin menaklukkan dunia!

Tertatih-tatih aku lawan kejamnya dunia kapitalis. Aku pastikan diri, kemiskinan tidak akan membuatku berhenti sekolah. Meski Abah menentang dan memintaku pulang. Saat itu aku duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di jantung Jogja. Sepucuk surat jatuh ke pangkuanku,

“Nak, pulanglah…! lulus tsanawiyah sudah cukup untukmu. Saat ini. kebangkrutan mendera Abah, menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim kemarau. Abah sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan video tua barang peninggalan dari Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua. Kalau kamu di sana Abah tidak tahu kamu bisa makan atau tidak, tapi kalau kamu di sini, makan tidak makan, kita hidup bersama.” Intinya, Abah menginginkanku pulang ke Banjarmasin. Berkumpul dengan keluarga berbagi derita miskin bersama-sama.

Waktu itu darah mudaku menggelegak. Aku memilih bertahan. Mengabaikan permintaan Abah. Walau aku belum tahu, kepada siapa aku bisa minta tolong?

Ketika aku menghadap ibu guru BP yang sholihah, Ibu Amiroh, pertahananku jebol. Aku tersedu-sedu di sudut ruang BP, menangis di pangkuan beliau atas pahitnya kefakiran yang ingin merenggutku dari bangku sekolah. Sampai kemudian beliau menjanjikan sesuatu,

“Nak, kalau kamu berhasil meraih ranking 1 paralel (nilai tertinggi di antara peraih juara 1 dari kelas 1 tsanawiyah s/d kelas 3 Aliyah), ibu akan usahakan agar kamu diberi beasiswa bebas SPP tahun ajaran selanjutnya. Walau saat ini kamu baru berhasil meraih rangking 3 dan 2 di semester-semester sebelumnya, ibu yakin kamu bisa!” Sambil mengucapkan kata-kata penyemangat itu, beliau menatap mataku lekat!

Masih kuingat, saat itu aku langsung menggenggam tangan beliau kuat-kuat. Seakan-akan aku tegaskan pada beliau, kemiskinan ini tidak akan membuatku berhenti! Kemiskinan ini malah akan menjadi bara abadi, bahwa aku bisa ‘mengalahkan’nya dengan pendidikan setinggi-tingginya!

Sejak itu, siang malam aku belajar seperti orang gila. Aku ‘kesetanan’ ingin membuktikan kalau aku juga bisa menjadi juara 1 paralel! Meski dalam sejarah pesantrenku selama belasan tahun, belum pernah ada juara 1 paralel dari pulau Kalimantan.

Akhir tahun ajaran tiba. Setelah sekian pengumuman dibacakan, tiba-tiba namaku dipanggil ke atas panggung di acara anugerah juara-juara kelas yang disaksikan oleh ribuan santri dari seluruh penjuru tanah air. Saat itu kakiku seperti tidak menapak tanah,

“Ananda Fatimah binti Chairi, dari kelas III B meraih juara 1 kelas IIIB daaan… Juara 1 Paralel. Kepada Ananda, kami persilahkan ke depan menerima penghargaan!” Suara bariton Pak Rusydi hampir-hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Kalimantan. Semua mengelu-elukan aku. Mataku pun basah. Beliau berhasil menghidupkan kembali harapanku sekaligus menyelamatkanku dari putus sekolah.
Belakangan aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan pembina Madrasah. Beliau ternyata tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.
***
Episode Teh Merlyna Lim
Setiap tahun aku tepati janji pada motivatorku, Ibu guru Amiroh. Aku nikmati masa-masa sekolah berasrama penuh prestasi, bahkan aku menjadi ketua OSIS.. Biarpun kemiskinan belum menjauh, Ibu Amiroh telah membukakan pintu untukku: Berprestasi dalam pendidikan adalah senjata ampuh melawan cengkeraman kemiskinan!

Lulus dari Madr. Mu’allimaat, aku bulat hati melanjutkan ke bangku kuliah, walau tanpa dukungan finansial memadai dari orang tua. Tersendat-sendat kujalani kuliah.

Di saat temanku menikmati kiriman bulanan dari orang tua mereka, aku berjibaku. Mulai menjadi guru TK sampai berdagang kue dan batik kulakoni asal halal.

Sampai pada sebuah titik, aku kehabisan energi! Aku bahkan terdesak ‘mengemis’ belas kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan.

Pada sahabatku aku mengeluh, “Rasanya belitan kemiskinan ini menakdirkanku untuk tidak berhasil meraih gelar sarjana. Aku seperti pungguk merindukan bulan!”

Aku mengalami musibah dan kekecewaan beruntun di tahun 2000. Aku mempertanyakan keadilan Tuhan. Aku lelah dan ingin menyerah. Kalah. Pulang ke Banjarmasin meski tidak membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi banyak lulusan sarjana disekitarku malah nganggur!

Hingga suatu ketika, aku temukan tulisan-tulisan moderator yang menggawangi milis Beasiswa yang ‘menampar’ jiwaku! Seri tulisannya singkat tapi menyentuh relung-relung kesadaran. Mengingatkan janjiku pada Ibunda guru Amiroh: kemiskinan harus dilawan dengan prestasi! Membangunkanku kembali pada mimpi terbesarku. Meraih pendidikan setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menderaku.

Di milis teh Merlyna membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks dalam melamar beasiswa sekaligus memenangkannya. Ribuan jam kuhabiskan mengubek-ubek isi milis, ketika aku baru selesai Kuliah Kerja Nyata di Gunung Kidul.

Nama Merlyna Lim sangat tersohor di dunia maya karena ia salah satu moderator milis yang cepat tanggap atas pertanyaan dan kesulitan membernya. Hebatnya lagi, itu semua dilakukannya ditengah-tengah jam kuliah dan penelitiannya yang padat antara Belanda, Hawaii dan Bandung!

Dari milis, aku beranjak mencari tahu tentang dirinya dengan meng-google namanya. Ratusan link muncul menunjukkan siapa dirinya. Luar biasa, Teh Merlyna adalah achiever sejati! Dia telah meraih aneka penghargaan nasional dan internasional dan saat itu dia sedang menempuh program Doktoral di Twente University, Belanda dengan beasiswa internasional yang sangat prestisius. Academic papernya juga telah dipresentasikan di puluhan negara. Aku terbius!

Semenjak itu boleh dibilang aku terobsesi sekaligus ‘iri’ padanya. Jika dia bisa menempuh pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tidak bisa? Kehebatannya di bidang akademik juga menyuntikkan bara: aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan seberat apapun tantangan yang kuhadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa S2 kalau aku belum menyelesaikan S1 ku!

Terminal Leuwi Panjang, Bandung
Hari itu aku berjanji untuk bertemu dengan Merlyna Lim! Setelah sekian lama aku hanyalah muridnya di dunia maya. Di email kuceritakan, aku mengagumi prestasinya yang mendunia di websitenya: http://www.merlyna.org/bio. Aku ingin menyedot langsung energi positif darinya.
Jelang keberangkatannya kembali ke Belanda, disela-sela kesibukannya mengurus penelitian doktoralnya, dia sisihkan waktu untukku, yang bukan siapa-siapa.

Sekitar setengah jam aku menunggu seperti anak ayam yang hilang karena gak tau Bandung. Akhirnya dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil merah. Putih, cantik, menarik, sederhana dan ramah!

Sambil bersalaman, teteh menarik tanganku, “Ayo Ima, langsung naik mobil, kita cari café yang enak.” Aku tidak tahu mau dibawa kemana, tapi yang pasti, aku langsung menyukainya!

Kami tiba di café Atmosphere yang nyaman sekali. Pemandangan yang terhampar disekeliling bukan main indahnya. Angin Bandung sepoi-sepoi perlahan mengeringkan keringatku.

Gemetar kubuka obrolan sambil menyalakan tape recorder pinjaman. Dia bercerita tentang keluarganya, hobbynya, kenangan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat. ITB dan paduan suara kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan. Juga kisah travelingnya yang seru! Meski sudah membaca blog travelingnya, http://merlynatravel.blogspot.com, tetap saja mendengarkan langsung itu asik! Dia bahkan membawakan foto backpackingnya keliling dunia, yang sudah menjangkau hampir 30 negara lebih!

Dia salah satu perempuan cerdas tapi tidak sombong yang pernah kukenal. Dia pompakan jutaan gigabyte semangat untukku! Mulai siang itu, dia ‘kudaulat’ menjadi inspiratorku, selain Ibunda guru Amiroh!

Dia balik bertanya. Dia ingin tahu hidupku. Malu-malu kuceritakan siapa aku dan mimpi-mimpiku yang tertatih-tatih kuraih. Dia besarkan hatiku, “Coba terus, Dik, kamu tidak akan pernah tahu batas kemampuanmu kalau kamu sendiri tidak mencobanya, kita moderator di milis Beasiswa, siap membantu.”

Dia Mengajariku Membagi Ilmu
Dia membuktikannya! Ketika berulang kali aku mengontak dia untuk urusan applikasi beasiswa S2 ku ke berbagai lembaga, berulang-ulang juga emailnya datang memberikan masukan-masukan yang sangat berharga. Bahkan ketika dia sedang sibuk dan di ujung dunia paling jauh sekalipun!

Di penghujung tahun 2003, aku mendapatkan kepastian: memperoleh beasiswa S2 ke Inggris dari Ford Foundation. Pendidikan tak hanya memerdekakanku dari kemiskinan harta dan ilmu, tapi juga mengantarkanku ke berbagai negara, seperti inspiratorku!

Dia mengajariku satu hal yang sangat penting, kita tidak akan pernah kekurangan sekali pun kita membagi yang kita punyai. Sebaliknya kita malah akan semakin kaya karena memberi. Seperti pesan Nabi Mulia, “Al Yadul ‘ulya khairun minal yadis sufla.” Tangan di atas (jauh lebih) mulia dibanding tangan yang di bawah.”

Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Rosalia Raesita Rabu 03.58

Rosalia Raesita Rabu

Perempuan ini menyimpan banyak kepahitan di dalam hatinya. Terlahir sebagai anak pertama dari empat bersaudara, menjadikan perempuan ini kuat memikul semua beban yang dipercayakan Papi dan Maminya, agar adik-adiknya bisa bersekolah hingga urusan menikahkan adik-adiknya. Nama perempuan ini Josephin. Umurnya sudah berkepala tiga.

“Adikku akan menikah minggu depan. Satu lagi tugas berat menanti”, ujar Josephin padaku. Ditariknya nafas dalam-dalam.

Aku memandangnya, tak mengerti dengan ucapannya. “Memangnya tugas berat apa, Kak?”
”Biasalah, utang sana sini untuk keperluan pesta”, jawab Josephin.

”Aku harus menyiapkan banyak hal dari urusan adat, gaun pengantin, make-up, gedung resepsi, acara, hingga menu pestanya,” kata Josephin. Terbayang rumitnya mengurusi itu semua. Aku menganggukkan kepala membenarkan alasannya menyebut pesta ini sebagai suatu tugas berat.

”Kalau butuh bantuan, hubungi saja aku”, kataku sambil tersenyum. Josephin memandangku dan tertawa.

Berbicara tentang Josephin seakan tak ada habisnya. Josephin merupakan pegawai senior di kantor kami. Pertama kali berkenalan dengannya membuatku berpikir hidupnya nyaris sempurna. Wajahnya yang manis, dengan pekerjaan bagus sebagai acoounting di kantor kami, membuat Josephin tidak hanya beruntung dalam karirnya.

Seorang anak laki-laki tampan yang berumur 3 tahun dengan kulit putih bersih dan bulu mata lentik membuat semua terkagum-kagum begitu memandang Gerald, anak semata wayangnya itu. Dan tentang suaminya? Begitu sempurna. Reynold nama lelaki itu, bertubuh atletis dengan postur tubuh tinggi dan wajah tampan. Keluarga yang sempurna.
Namun bannyak hal yang tidak kuketahui tentang keluarga Josephin. Dari isu yang berhembus, ternyata perempuan mungil ini sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Dia menyimpan rapat-rapat hal ini dari aku. Namun tanteku yang kebetulan bertetangga dengannya sering bercerita tentang ini. Hingga di suatu siang, aku terkejut ketika melihatnya baru tiba di kantor hampir pukul 12 siang. Namun bukan waktu terlambat masuk kantor yang membuatku terperangah, tapi pada wajahnya. Tepatnya pada lebam di wajahnya.

”Kak, ada apa Kak?” aku mulai bertanya ketika Josephin menangis tersedu-sedu di meja kerjanya. Dia menatapku dan kembali menangis. Aku membiarkannya menangis.
”Ada apa Kak?” tanyaku lagi.
”Semalam Reynold memukulku. Dia bahkan hampir membunuhku”.

Aku terkejut. Bayangan tentang sebuah keluarga sempurna kontan runtuh dari pandanganku. Keduanya semalam bertengkar hebat. Rupanya sang suami takut Josephin yang menjadi event organizer akan bertemu dengan mantan pacarnya yang kebetulan juga diundang ke pesta itu. Josephin awalnya tak pernah menyangka hal ini terjadi.

Kupandangi sekujur tubuh Josephin. Bola mata kanannya berwarna merah darah. Kaki kanannya penuh dengan bekas lebam berwarna hitam kebiru-biruan. Aku terperangah ketika dia menggulung lengan kanan bajunya dan menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah luka memar menganga.

Dari cerita Josephin aku jadi tahu penyebab luka dan memar di sekujur tubuhnya itu. Beberapa hari yang lalu suaminya mendapat kabar bahwa David, mantan pacar Josephin juga diundang ke pesta itu. David merupakan teman kerja adik Josephin.. Namun Reynold beranggapan lain. Dia curiga Josephin sengaja mengundang David untuk bisa bertemu lagi dengan mantan pacarnya itu. Semalam hal itu ditanyakan pada Josephin. Josephin tersenyum dan menjelaskan pada Reynold bahwa David memang diundang tapi oleh adik Josephin, bukan oleh dirinya.
Ah, ternyata hal ini membuat Reynold naik pitam. Kaki kanannya secepat kilat menendang perut perempuan ini hingga terjatuh. Dengan segera telapak kakinya menginjak lengan kanan Josephin berulang kali. Josephin bereteriak keras menahan sakit. Di saat itu, ibunda Reynold yang rumahnya bersebelahan dengan mereka mendatangi Josephin. Melihat menantunya diperlakukan seperti itu, orang tua itu mencoba menarik anaknya menjauhi Josephin.

Reynold tak menghiraukan ibunya. Dia berlari ke arah dapur dan mengambil sebilah pisau dapur. Baru saja pisau itu akan diayunkan ke tubuh Josephin, tiba-tiba pisau itu terlepas dari gagangnya. Mungkin ini campur tangan Tuhan, yang tak ingin agar kisah hidup Josephin berakhir seperti ini. Namun Reynold semakin kesetanan. Tangan kanannya yang kuat itu dikepalkan dan dihantamkan pada bola mata kanan isterinya.

Di saat itu tetangga mulai berdatangan. Josephin dilarikan ke rumah sakit sedangkan Reynold diamankan di rumah tetangganya. Gerald yang melihat perkelahian orang tuanya itu menangis sekuat-kuatnya. Semuanya menjadi mimpi buruk bagi Josephin, dan tentunya juga bagi Gerald.

Aku terdiam memandangi Josephin. Kuingat benar beberapa hari lalu aku dan dia telah membeli sebuah gaun cantik berwarna biru berlengan pendek untuk dikenakan Josephin pada pernikahan adiknya. Namun melihat Josephin dengan kondisi sepert ini membuatnya nyaris cacat dengan gaun barunya. Aku memandangnya lagi.

Tak kuasa kubayangkan tubuh mungil isterinya ini dihantam dengan kekuatan penuh lelaki atletis yang setiap hari kerjannya hanya fitness. Tapi tunggu dulu.Tiba-tiba aku teringat satu hal.
”Kak Reynold bekerja dimana Kak? Kita laporkan masalah ini pada atasannya”, kataku.
”Dia pengangguran”, jawab Josephin sambil tertunduk.

Aku terdiam. Pantas saja. Kekerasan dipakai sebagai senjata untuk menaklukkan isterinya, membuat perempuan ini tidak berdaya. Rasa cemburu yang berlebihan membuat Reynold tak segan-segan memperlakukan isterinya dengan kejam. Laki-laki yang tidak bekerja seringkali merasa takut dikuasai oleh isterinya yang bekerja sehingga kekerasan dianggap cara lumrah untuk menekan sang isteri.

”Aku tak pernah peduli jika dia tak punya pekerjaan tetap. Apapun pekerjannya aku selalu menghormatinya. Walau sekarang dia pengangguran toh aku selalu menghargainya sebagai seorang suami. Namun dia sama sekali tak pernah menyadari hal ini. Penampilannya juga tak mau kalah dengan laki-laki lain yang punya pekerjaan. Pakaian, sepatu, perhiasan hingga suplemen termahal selalu aku berikan padanya. Aku mencintainya tapi tak pernah jadi isteri yang baik di matanya”, Josephin menangis lagi.

”Mama, mama....”, tanpa kami sadari, Gerald, anak Josephin sudah berada didekat kami. Rupanya dia diantar pembantu.
”Mama menangis?” tanya Gerald sambil menghapus air mata ibunya dengan tangannya yang mungil. ”Kalau Gerald sudah besar, Gerald bunuh Papa nanti. Mama diam yah?” hibur anak kecil itu.

Aku memandanganya. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok yang menakutkan. Namun di tempat kami orang sering melihatnya sebagai sebuah urusan rumah tangga biasa, sebuah masalah privat yang tidak boleh dicampuri. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Seminggu kemudian ketika Josephin sedang sibuk dengan urusan pernikahan adiknya, aku pun sedang sibuk dengan sebuah urusan lain. Kisah Josephin menghantarkan aku ke Solidaritas Perempuan Flores atau SPF yang konsen menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan yang tertinggi ditangani oleh lembaga ini. Aku tahu akan ada berita baik buat Josephin.

”Bagaimana, sukses dengan acara pernikahan?” tanyaku pada Josephin suatu hari.
”Syukurlah, semuanya lancar”, kulihat senyum mengembang pada wajahnya. Matanya masih menyisakan nanar yang belum sembuh benar.
”Kak, mau tidak jadi relawan di SPF?” tanyaku.
”SPF?” kening Josephin menyimpan tanya.
”SPF itu Solidaritas Perempuan Flores. Lembaga ini memperjuangakan hak-hak perempuan dan anak khususnya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Letaknya langsung bersebelahan dengan rumah Kakak”, kataku.

Josephin terdiam.
“Bilang sama Kak Reynold. Sekali lagi dia memukul Kakak seperti tempo hari kami akan menghadapi dia”, kataku sambil tersenyum.

Kini Josephin tak pernah mengeluhkan lagi perbuatan kasar suaminya. Rupanya kehadiran SPF yang berada tepat disebelah rumahnya merupakan momok yang menakutkan buat Reynold. Namun sebaliknya bagi Josephin dan aku sendiri, SPF mengajarkan kami bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan suatu bentuk pengajaran bagi perempuan. Karena cinta tidak membutuhkan kekerasan sebagai pelajaran bukan?

Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Fien Prasetyo 03.55

Fien Prasetyo
Dulu kupikir bapak sudah tidak mencintai ibu lagi. Selang dua tahun sejak ibu meninggal, bapak memutuskan untuk menikah lagi. Jelas, bagiku, kala itu bapak sudah mengkhianati mendiang ibu. Sudah seperempat abad lebih ibu menemani bapak dengan setia dan tanpa mengeluh, tiba-tiba kini dengan mudahnya bapak melupakan ibu dengan menikahi seorang perempuan bernama Rina.

Perempuan berjilbab itu masih tergolong muda, 40 tahun dan bapak 55 tahun. Meski janda tanpa anak, penampilannya masih seperti gadis saja. Pantas saja bapak seperti terlena dengan dia. Yang aku tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan itu mau dinikahi bapak yang sudah tua dan punya empat orang anak ?

Sempat terbersit bahwa perempuan itu hanya mengincar harta bapak. Maklum, di kampung kami bapak memang tergolong orang yang cukup mapan. Tapi segera kutepis pikiran itu dan selanjutnya aku hanya bisa diam menyaksikan ijab Kabul kedua bapak itu.

Hari itu, hari pertama kali ada “perempuan asing” dalam rumah kami. Kami berempat cuma bisa terdiam melihat bapak dan perempuan itu terlihat begitu suka cita. Amarah dan sakit hatiku semakin memuncak ketika malam mulai larut. Bagaimana tidak, perempuan itu tidur dalam satu kamar dan satu ranjang dengan bapak. Seharusnya ibu yang ada disisi bapak, bukan dia. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan sedikit terisak dalam kamar, hingga tertidur…

Pagi hari, pukul 05.00 kudengar di dapur telah bising oleh suara orang memasak. Dengan sedikit masih mengantuk kucoba melihat apa yang telah terjadi di dapur. Sebab sejak ibu tiada, tak pernah ada lagi acara memasak di pagi hari. Masing-masing disibukkan dengan dirinya sendiri sehingga urusan sarapan pagi kami beli sendiri-sendiri di warung.

Aku terkesiap, beberapa jenis masakan telah tersedia di meja makan. Dan perempuan itu dengan sumringah menyapaku. “Udah bangun Fin ?”

Aku tak menjawab, hanya berlalu.
“Sholat subuh dulu Fin…” sambungnya kemudian.
Lagi-lagi aku tak menyahut.

Begitulah hari-hari kami sejak ada perempuan itu. Memang sedikit teratur, tapi tetap saja kuanggap itu cuma bentuk usaha dia untuk memikat hati kami, anak-anak bapak, terutama aku. Paling-paling hanya satu bulan pertama saja seperti itu, selanjutnya…ah !

Satu…dua…tiga…empat…lima bulan berlalu. Perempuan itu tetap konsisten menjalankan roda rumah tangga dengan baik. Mulai dari menyiapkan makan, mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah hingga mencari uang dengan menjalankan usaha berdagang baju-baju muslim.

Memang, teman-temannya cukup banyak. Silih berganti datang ke rumah untuk melihat dan membeli baju-baju muslim yang diambilnya dari jawa tengah. Setiap hari, kalau tidak ada jadwal kuliah, aku sering mengintip dari balik jendela kamar yang memang berseberangan dengan ruang tamu. Perempuan itu begitu ramah dan telaten dalam melayani pembeli.

Senyum merekah tak henti-hentinya tersungging dari bibirnya. Dan kulihat orang-orang itu begitu senang dengan bu Rina, begitulah terakhir aku memanggilnya. Tidak tampak di wajahnya rasa letih dan lelah. Padahal aku tahu, sejak dari sebelum subuh, bu Rina sudah bangun, memasak, mencuci, menyapu, mengepel, hingga menyiapkan segala kebutuhan bapak dan kami sebelum berangkat beraktifitas.

Hingga pernah, pada suatu hari, saat dirumah sepi, hanya ada aku dan bu Rina, ia bertanya padaku. “Fin, kalo lulus kuliah mau kerja apa ?”
Aku menggeleng, malas menanggapinya.
“Pasti kerja kantoran ya ? Ibu lihat Fifin suka menulis di komputer.”
Aku masih diam.
“Atau mau gak bisnis kayak ibu ?” tanyanya kali ini dengan nada bercanda
“Nggak.” Jawabku cepat

Bu Rina tertawa kecil, “Iya, kalau bisa raih cita-cita yang lebih tinggi lagi ya…fifin kan udah kuliah, harusnya bisa jadi yang lebih dari sekadar berjualan baju kayak ibu. Ibu dulu kan nggak kuliah, cuma tamatan SMP, jadi ya mana mungkin kerja di kantoran. Bisanya ya jualan gini aja. Tapi alhamdulillah, hasilnya lumayan juga lo…”

Seketika hatiku menciyut. Sedikit ada rasa kagum pada bu Rina.
“Dulu, ibu juga ingin jadi orang pintar, kerja di kantoran. Tapi sayang kondisi keuangan keluarga pada waktu itu gak memungkinkan untuk ibu bisa sekolah tinggi. Tapi ibu dulu bertekad ingin mandiri meski berbekal pendidikan yang minim. Makanya, Fifin sekarang udah enak tuh, biaya sekolah ada, jadi jangan sampai semua itu terbuang sia-sia. Manfaatkan kesempatan yang ada dengan baik. Sebenarnya jadi apapun gak masalah, yang penting tidak bertentangan dengan agama dan dijalani dengan penuh tanggungjawab. Ibu doakan besok Fin jadi orang sukses ya.”

Sederhana saja apa yang dikatakannya, tapi entah kenapa, tiba-tiba batinku bergejolak. Seperti tengah mendorong-dorong semangatku untuk bangkit. Apalagi saat ia katakan akan mendoakan aku untuk sukses...memang, sejak ibu meninggal, seperti hilang gairah hidupku. Parahnya lagi, tidak ada yang memberiku semangat. Bapak sibuk bekerja, sementara saudara-saudara kandungku pun tak pernah ada waktu untuk berbagi.

Aku seperti menemukan tempat berlabuh, tempat bersandar. Seketika ingin rasanya aku menumpahkan segala isi hatiku yang selama ini terpasung dalam kesepian tanpa ibu. Kata-kata dan suara lembut bu Rina sanggup membiusku untuk terlena dalam dekapannya. Dan, kala itu aku memang jatuh dipelukannya dan menangis membasahi jilbabnya putihnya. Hari itu aku merasakan belaian yang begitu tulus. Meski tak dapat mengalahkan ibu, tapi aku cukup tenang bersamanya.

Bu Rina, ibu tiriku. Tak sanggup aku memanggilnya ibu seperti aku memanggil ibuku. Tapi aku dan juga ia tak pernah peduli. Kasih dan cinta tak hanya sebatas sebutan ibu. Sudah cukup bagiku petuah dan limpahan do’a yang bu Rina berikan padaku menjadi oase yang selama ini sempat hilang dari hidupku.

Kini, aku telah berumah tangga dan memiliki seorang puteri kecil berusia satu tahun. Dan kini aku menganggap bu Rina bukan saja sebagai ibu, tapi juga guruku dalam berkarya, temanku dalam suka, dan pelipur laraku dalam duka. Aku juga berdagang baju muslim dan bahkan memiliki langganan yang lebih besar dari bu Rina. Ah, bangganya aku. Tapi ternyata bu Rina lebih bangga padaku.

Bu Rina tak pernah lelah dan lalai menemani bapak, menapaki usia yang semakin senja. Kini aku lega, ibu di surga pasti juga bahagia, karena bu Rina menjadi pengganti peran ibu yang tulus. Satu hal yang sampai detik ini menjadi pembelajaran untukku dari bu Rina.

Bagaimana bu Rina begitu berbesar hati saat dulu aku tak pernah mempedulikannya, bagaimana bu Rina begitu tabah menjalani hari-hari bersama bapak yang sempat sakit-sakitan, bagaimana juga bu Rina begitu bertanggungjawab menjalankan setiap tugas dan kewajibannya dalam mengurus rumah tangga dan kerjaan. Dan satu lagi bagaimana bu Rina begitu tulus menyayangi bapak, aku, dan saudara-saudaraku.

Seorang bu Rina telah membuka mata hatiku, bagaimana aku harus bisa menjadi perempuan mandiri dan kuat dalam mengarungi hidup. Tak harus menjadi kejam, otoriter, angkuh, ataupun keras hati untuk bisa mandiri dan kuat. Tapi justru kelembutan, kesabaran, serta keikhlasan akan membawa kita menjadi perempuan yang tak terkalahkan.***

Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Lingga Permesti 03.48

Lingga Permesti

“Jamuu…jamunya Mbak...!” teriakan Mbok jamu selalu kudengar tepat pukul sembilan pagi. Aku terperanjat kaget mendengarnya, suaranya yang lantang itu memecah konsentrasiku yang sedang menghapal bahan ujian untuk besok. Berisik sekali pikirku, mbok jamu itu seperti tidak punya tatakrama saja, berteriak keras-keras, seolah-olah tidak akan ada yang merasa terganggu. Pada mulanya aku tidak menanggapi kejadian yang terus berulang ini, tetapi lama kelamaan aku dibuat kesal olehnya. 

Aku lihat dari balik kaca jendela orang yang mengganggu belajarku itu, seorang wanita usia lima puluh tahunan, menggendong satu baku jamu dan membawa ember kecil di tangan kirinya. Kebaya lusuhnya itu berwarna biru tua dengan jahitan tambalan di sekitar lengan kebaya itu. 

Tak lupa pula kuperhatikan bakul besar yang ia bawa, mungkin beratnya sekitar lima kilo, atau mungkin lebih. Di dalamnya berisi macam-macam jamu, dari jamu penyegar badan hingga jamu kuat untuk para pria. Kulihat ia membenarkan letak selendang jamunya, selendang yang ia gunakan untuk membawa bakul itu. Badannya yang kecil hampir tertutupi oleh bakul jamunya yang besar dan berat.

Sempat terbersit rasa kasihan padanya, tetapi apa yang ia lakukan tidak dapat membayar semua ini, membayar kekeruhan otakku yang diganggu oleh suaranya yang seperti ingin memecahkan gendang telingaku. Akhirnya kusudahi saja belajarku dan pergi mandi, tetapi tetap saja hatiku mengumpat-ngumpat pada ibu tua itu, si penjual jamu.

Setelah beberapa hari ini, tidak kudengar lagi teriakan mbok jamu yang biasa dipanggil Mbok Nah itu. Entah apa yang terjadi padanya hingga tidak ada selama beberapa hari ini. Atau mungkin, ia telah insaf mengganggu orang-orang yang beraktivitas dan membutuhkan konsentrasi yang besar, seperti aku ini. Aku sengaja memilih kost yang agak jauh dari kampus supaya mendapatkan ketenangan dalam belajar, tetapi ternyata, keputusan yang kupilih ini tidak sesuai apa yang aku inginkan, terutama, suara Mbok Nah yang mengganggu. Ah, sungguh senangnya tidak ada teriakan tak bersahabat di telingaku akhir-akhir ini.
***
Kuliahku akhir-akhir ini berantakan, entah mengapa. Mungkin karena permasalahanku yang tidak kunjung selesai menarik kasih sayang kedua orang tuaku. Energi mereka sepertinya habis untuk bekerja, mencari uang yang banyak agar anak-anaknya bahagia. Tetapi aku tidak sebahagia yang mereka bayangkan. Okelah aku diberi fasilitas yang memadai, aku tidak kekurangan materi sama sekali, aku hidup enak, dan aku mampu membeli apa saja. 

Namun, seakan-akan mereka lupa ada seseorang yang rindu ditanya sudah makan atau belum, bagaimana kuliahnya hari ini, atau satu kalimat saja yang ingin aku dengarkan, ”Mama dan Papa kangen kamu, Nak..!”.

Tidak, semua tidak ada dalam hidupku. Mereka hanya bekerja dan bekerja. Aku seperti menjadi orang asing di keluargaku sendiri. Setiap aku pulang apabila ada libur kuliah, mereka tidak ada di rumah, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku sudah mencoba untuk mengerti tetapi tak kumengerti hingga saat ini. Aku coba memahami, tetapi jawabannya hanya bisu, aku seorang diri.

Lamunanku dibuyarkan oleh teriakan Mbok Nah. Ternyata ibu tua itu masih datang saja kesini, aku kira ia sudah tidak punya nyali datang ke sini setelah kucoba untuk menegurnya sebelum ia menghilang beberapa hari lalu. Sepertinya percuma saja aku menegurnya waktu lalu, ia mendengar teguran itu seperti angin lalu saja.

Aku memcoba menegurnya sekali lagi, ”Mbok, tolong teriakannya diperkecil, saya terganggu...! Mungkin tetangga lain juga terganggu!” ungkap saya padanya sambil kuperhatikan rambutnya yang lepek terkena sinar matahari, sungguh lelah pikirku. Sejenak aku bersimpati kepadanya, tetapi Mbok Nah seperti tak mendengar omonganku, ia menurunkan bakul jamunya kemudian mengambil satu gelas kecil. 

Ditumpahkan jamu campuran kunyit, asam dan jahe kemudian ia sodorkan padaku, ”Jamunya Mbak! Biar pintar!” pintanya padaku. Entah mengapa aku lupa telah menegurnya sehingga langsung saja aku ambil jamu itu dan kuteguk cepat-cepat. Tubuhku serasa segar dan semangat seolah-olah aku menjadi orang yang baru.

Aku hanya berdiam diri memperhatikannya, kulihat mata Mbok Nah seperti menusukku. Matanya seperti sudah mengalami perjalanan hidup yang panjang, tetapi mata itu senantiasa memberi kasih sayang orang-orang di sekitarnya. Pantas saja warga di sini tidak banyak terganggu oleh kehadirannya. Marahku sepertinya sudah terlunturkan oleh senyumnya yang mengembang manis di depanku. Aku mungkin terlalu naif untuk menilai orang dari luarnya saja karena entah mengapa kutemukan kehangatan dalam dirinya, kehangatan yang tidak kutemui dari orang tuaku.

Aku memberinya selembar lima ribuan kemudian ia keluarkan dompet kecilnya dan mengembalikan tiga ribuan, murah pikirku. Murah untuk lelahnya ia berjalan dari satu desa ke desa lain, sangat murah untuk keringatnya yang bercucuran dari pukul setengah enam pagi, murah untuk senyumnya yang ia berikan untukku. Begitupula warga di sekitar lingkungan kost ini yang merasakan ketulusan senyumnya. Senyum Mbok Nah seperti menampar hatiku yang dingin dan benar kata orang, senyum dapat merubah sikap seseorang dan itulah aku.

Setiap hari kini aku menunggunya, menunggu Mbok Nah yang bersuara lantang itu. Walau suaranya lantang, lain hal dengan sikapnya. Sikapnya sangat lemah lembut dan aku merasakan sikapnya itu sampai ke hatiku. Aku seperti terkena candu jamu pintar yang ia buat. Tak tahu mengapa disebut jamu pintar, ada-ada saja Mbok Nah.

Aku kini sering menunggunya dan ingin mengobrol banyak dengannya. Aku patut mengangkat topi akan semangatnya, dan tahukah, alasan selama beberapa hari lalu ia tidak berjualan jamunya karena ia menghadiri wisuda anaknya yang paling bungsu. Aku tersentak mendengarnya, bagaimana bisa seorang penjual jamu dapat menyekolahkan keempat anaknya yang kini sudah sarjana semua. Aku merasa di tengah himpitan ekonomi seperti ini Mbok Nah bisa bertahan saja sudah luar biasa apalagi dapat menyekolahkan anak-anaknya. 

“Yang penting ikhlas to Mbak, kalo gak ikhlas ya gak jalan, yang di atas juga gak redo” ungkapnya padaku dengan logat jawanya yang kental. Sampai saat ini pun ia masih berjualan jamu kendati anak-anaknya telah lulus dan bekerja. Aku tanyakan padanya untuk apa ia melakukan semua itu ia pun berkata sambil tertawa renyah padaku, ”La wong kalo si mbok liat orang minum jamu mbok ngerasa bahagia, gak tau kenapa ya Mbak” sambil dimasukannya botol-botol jamu itu ke dalam bakul dan mencuci gelas yang kupakai untuk minum jamu tadi.

Terbersit dalam pikirku, mungkin itulah yang dilakukan kedua orang tuaku, membuat anaknya bahagia walau mereka jarang memperhatikan aku. Aku seperti menyia-nyiakan energiku untuk memperoleh kasih sayang mereka. Seharusnya akulah yang memberi kasih sayang terhadap ayah dan ibu. Aku tersadar karena melihat perjuangan Mbok Nah, berkeliling desa hingga kulitnya seperti melepuh terbakar sinar matahari. Aku pun menyadari seberkas rumus pintar yang ia berikan secara tak langsung padaku.

Rumus pintar agar melakukan semua kegiatanku dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu dari orang lain. Aku pun tak tahu bentuk ikhlas itu sendiri seperti apa, yang aku tahu aku belajar banyak dari Mbok Nah agar bisa bahagia dengan membahagiakan orang lain dan aku tahu rumus ini akan mengiringi dalam setiap perjalanan hidupku.
***
Perkuliahanku kini sudah semester delapan, semakin dekat kulihat kelulusan di depan mataku. Aku berhasil melewati semua karena rumus pintar yang diberikan Mbok Nah padaku. Tetapi aku agak sedih karena sudah tidak pernah melihatnya lagi berkeliling dari satu kost ke kost lain untuk menjual jamu pintarnya. Katanya ia sudah pensiun dari pekerjaan itu. Mungkin keempat anaknya meminta ia untuk berhenti menjual jamu.

Walaupun aku sempat merindukannya, aku merasa bahagia karena Mbok Nah bahagia. Terima kasih untuk jamu dan rumus pintarnya Mbok Nah...! Akhirnya kuselesaikan cerita ini dengan mengambil nafas panjang dan berkata, ”Aku ingin bahagia dan orang di sekitarku bahagia...” sekali lagi terima kasih Mbok Nah, terima kasih..