Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Fien Prasetyo 03.55

Fien Prasetyo
Dulu kupikir bapak sudah tidak mencintai ibu lagi. Selang dua tahun sejak ibu meninggal, bapak memutuskan untuk menikah lagi. Jelas, bagiku, kala itu bapak sudah mengkhianati mendiang ibu. Sudah seperempat abad lebih ibu menemani bapak dengan setia dan tanpa mengeluh, tiba-tiba kini dengan mudahnya bapak melupakan ibu dengan menikahi seorang perempuan bernama Rina.

Perempuan berjilbab itu masih tergolong muda, 40 tahun dan bapak 55 tahun. Meski janda tanpa anak, penampilannya masih seperti gadis saja. Pantas saja bapak seperti terlena dengan dia. Yang aku tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan itu mau dinikahi bapak yang sudah tua dan punya empat orang anak ?

Sempat terbersit bahwa perempuan itu hanya mengincar harta bapak. Maklum, di kampung kami bapak memang tergolong orang yang cukup mapan. Tapi segera kutepis pikiran itu dan selanjutnya aku hanya bisa diam menyaksikan ijab Kabul kedua bapak itu.

Hari itu, hari pertama kali ada “perempuan asing” dalam rumah kami. Kami berempat cuma bisa terdiam melihat bapak dan perempuan itu terlihat begitu suka cita. Amarah dan sakit hatiku semakin memuncak ketika malam mulai larut. Bagaimana tidak, perempuan itu tidur dalam satu kamar dan satu ranjang dengan bapak. Seharusnya ibu yang ada disisi bapak, bukan dia. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan sedikit terisak dalam kamar, hingga tertidur…

Pagi hari, pukul 05.00 kudengar di dapur telah bising oleh suara orang memasak. Dengan sedikit masih mengantuk kucoba melihat apa yang telah terjadi di dapur. Sebab sejak ibu tiada, tak pernah ada lagi acara memasak di pagi hari. Masing-masing disibukkan dengan dirinya sendiri sehingga urusan sarapan pagi kami beli sendiri-sendiri di warung.

Aku terkesiap, beberapa jenis masakan telah tersedia di meja makan. Dan perempuan itu dengan sumringah menyapaku. “Udah bangun Fin ?”

Aku tak menjawab, hanya berlalu.
“Sholat subuh dulu Fin…” sambungnya kemudian.
Lagi-lagi aku tak menyahut.

Begitulah hari-hari kami sejak ada perempuan itu. Memang sedikit teratur, tapi tetap saja kuanggap itu cuma bentuk usaha dia untuk memikat hati kami, anak-anak bapak, terutama aku. Paling-paling hanya satu bulan pertama saja seperti itu, selanjutnya…ah !

Satu…dua…tiga…empat…lima bulan berlalu. Perempuan itu tetap konsisten menjalankan roda rumah tangga dengan baik. Mulai dari menyiapkan makan, mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah hingga mencari uang dengan menjalankan usaha berdagang baju-baju muslim.

Memang, teman-temannya cukup banyak. Silih berganti datang ke rumah untuk melihat dan membeli baju-baju muslim yang diambilnya dari jawa tengah. Setiap hari, kalau tidak ada jadwal kuliah, aku sering mengintip dari balik jendela kamar yang memang berseberangan dengan ruang tamu. Perempuan itu begitu ramah dan telaten dalam melayani pembeli.

Senyum merekah tak henti-hentinya tersungging dari bibirnya. Dan kulihat orang-orang itu begitu senang dengan bu Rina, begitulah terakhir aku memanggilnya. Tidak tampak di wajahnya rasa letih dan lelah. Padahal aku tahu, sejak dari sebelum subuh, bu Rina sudah bangun, memasak, mencuci, menyapu, mengepel, hingga menyiapkan segala kebutuhan bapak dan kami sebelum berangkat beraktifitas.

Hingga pernah, pada suatu hari, saat dirumah sepi, hanya ada aku dan bu Rina, ia bertanya padaku. “Fin, kalo lulus kuliah mau kerja apa ?”
Aku menggeleng, malas menanggapinya.
“Pasti kerja kantoran ya ? Ibu lihat Fifin suka menulis di komputer.”
Aku masih diam.
“Atau mau gak bisnis kayak ibu ?” tanyanya kali ini dengan nada bercanda
“Nggak.” Jawabku cepat

Bu Rina tertawa kecil, “Iya, kalau bisa raih cita-cita yang lebih tinggi lagi ya…fifin kan udah kuliah, harusnya bisa jadi yang lebih dari sekadar berjualan baju kayak ibu. Ibu dulu kan nggak kuliah, cuma tamatan SMP, jadi ya mana mungkin kerja di kantoran. Bisanya ya jualan gini aja. Tapi alhamdulillah, hasilnya lumayan juga lo…”

Seketika hatiku menciyut. Sedikit ada rasa kagum pada bu Rina.
“Dulu, ibu juga ingin jadi orang pintar, kerja di kantoran. Tapi sayang kondisi keuangan keluarga pada waktu itu gak memungkinkan untuk ibu bisa sekolah tinggi. Tapi ibu dulu bertekad ingin mandiri meski berbekal pendidikan yang minim. Makanya, Fifin sekarang udah enak tuh, biaya sekolah ada, jadi jangan sampai semua itu terbuang sia-sia. Manfaatkan kesempatan yang ada dengan baik. Sebenarnya jadi apapun gak masalah, yang penting tidak bertentangan dengan agama dan dijalani dengan penuh tanggungjawab. Ibu doakan besok Fin jadi orang sukses ya.”

Sederhana saja apa yang dikatakannya, tapi entah kenapa, tiba-tiba batinku bergejolak. Seperti tengah mendorong-dorong semangatku untuk bangkit. Apalagi saat ia katakan akan mendoakan aku untuk sukses...memang, sejak ibu meninggal, seperti hilang gairah hidupku. Parahnya lagi, tidak ada yang memberiku semangat. Bapak sibuk bekerja, sementara saudara-saudara kandungku pun tak pernah ada waktu untuk berbagi.

Aku seperti menemukan tempat berlabuh, tempat bersandar. Seketika ingin rasanya aku menumpahkan segala isi hatiku yang selama ini terpasung dalam kesepian tanpa ibu. Kata-kata dan suara lembut bu Rina sanggup membiusku untuk terlena dalam dekapannya. Dan, kala itu aku memang jatuh dipelukannya dan menangis membasahi jilbabnya putihnya. Hari itu aku merasakan belaian yang begitu tulus. Meski tak dapat mengalahkan ibu, tapi aku cukup tenang bersamanya.

Bu Rina, ibu tiriku. Tak sanggup aku memanggilnya ibu seperti aku memanggil ibuku. Tapi aku dan juga ia tak pernah peduli. Kasih dan cinta tak hanya sebatas sebutan ibu. Sudah cukup bagiku petuah dan limpahan do’a yang bu Rina berikan padaku menjadi oase yang selama ini sempat hilang dari hidupku.

Kini, aku telah berumah tangga dan memiliki seorang puteri kecil berusia satu tahun. Dan kini aku menganggap bu Rina bukan saja sebagai ibu, tapi juga guruku dalam berkarya, temanku dalam suka, dan pelipur laraku dalam duka. Aku juga berdagang baju muslim dan bahkan memiliki langganan yang lebih besar dari bu Rina. Ah, bangganya aku. Tapi ternyata bu Rina lebih bangga padaku.

Bu Rina tak pernah lelah dan lalai menemani bapak, menapaki usia yang semakin senja. Kini aku lega, ibu di surga pasti juga bahagia, karena bu Rina menjadi pengganti peran ibu yang tulus. Satu hal yang sampai detik ini menjadi pembelajaran untukku dari bu Rina.

Bagaimana bu Rina begitu berbesar hati saat dulu aku tak pernah mempedulikannya, bagaimana bu Rina begitu tabah menjalani hari-hari bersama bapak yang sempat sakit-sakitan, bagaimana juga bu Rina begitu bertanggungjawab menjalankan setiap tugas dan kewajibannya dalam mengurus rumah tangga dan kerjaan. Dan satu lagi bagaimana bu Rina begitu tulus menyayangi bapak, aku, dan saudara-saudaraku.

Seorang bu Rina telah membuka mata hatiku, bagaimana aku harus bisa menjadi perempuan mandiri dan kuat dalam mengarungi hidup. Tak harus menjadi kejam, otoriter, angkuh, ataupun keras hati untuk bisa mandiri dan kuat. Tapi justru kelembutan, kesabaran, serta keikhlasan akan membawa kita menjadi perempuan yang tak terkalahkan.***

0 komentar:

Posting Komentar