Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Rosalia Raesita Rabu 03.58

Rosalia Raesita Rabu

Perempuan ini menyimpan banyak kepahitan di dalam hatinya. Terlahir sebagai anak pertama dari empat bersaudara, menjadikan perempuan ini kuat memikul semua beban yang dipercayakan Papi dan Maminya, agar adik-adiknya bisa bersekolah hingga urusan menikahkan adik-adiknya. Nama perempuan ini Josephin. Umurnya sudah berkepala tiga.

“Adikku akan menikah minggu depan. Satu lagi tugas berat menanti”, ujar Josephin padaku. Ditariknya nafas dalam-dalam.

Aku memandangnya, tak mengerti dengan ucapannya. “Memangnya tugas berat apa, Kak?”
”Biasalah, utang sana sini untuk keperluan pesta”, jawab Josephin.

”Aku harus menyiapkan banyak hal dari urusan adat, gaun pengantin, make-up, gedung resepsi, acara, hingga menu pestanya,” kata Josephin. Terbayang rumitnya mengurusi itu semua. Aku menganggukkan kepala membenarkan alasannya menyebut pesta ini sebagai suatu tugas berat.

”Kalau butuh bantuan, hubungi saja aku”, kataku sambil tersenyum. Josephin memandangku dan tertawa.

Berbicara tentang Josephin seakan tak ada habisnya. Josephin merupakan pegawai senior di kantor kami. Pertama kali berkenalan dengannya membuatku berpikir hidupnya nyaris sempurna. Wajahnya yang manis, dengan pekerjaan bagus sebagai acoounting di kantor kami, membuat Josephin tidak hanya beruntung dalam karirnya.

Seorang anak laki-laki tampan yang berumur 3 tahun dengan kulit putih bersih dan bulu mata lentik membuat semua terkagum-kagum begitu memandang Gerald, anak semata wayangnya itu. Dan tentang suaminya? Begitu sempurna. Reynold nama lelaki itu, bertubuh atletis dengan postur tubuh tinggi dan wajah tampan. Keluarga yang sempurna.
Namun bannyak hal yang tidak kuketahui tentang keluarga Josephin. Dari isu yang berhembus, ternyata perempuan mungil ini sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Dia menyimpan rapat-rapat hal ini dari aku. Namun tanteku yang kebetulan bertetangga dengannya sering bercerita tentang ini. Hingga di suatu siang, aku terkejut ketika melihatnya baru tiba di kantor hampir pukul 12 siang. Namun bukan waktu terlambat masuk kantor yang membuatku terperangah, tapi pada wajahnya. Tepatnya pada lebam di wajahnya.

”Kak, ada apa Kak?” aku mulai bertanya ketika Josephin menangis tersedu-sedu di meja kerjanya. Dia menatapku dan kembali menangis. Aku membiarkannya menangis.
”Ada apa Kak?” tanyaku lagi.
”Semalam Reynold memukulku. Dia bahkan hampir membunuhku”.

Aku terkejut. Bayangan tentang sebuah keluarga sempurna kontan runtuh dari pandanganku. Keduanya semalam bertengkar hebat. Rupanya sang suami takut Josephin yang menjadi event organizer akan bertemu dengan mantan pacarnya yang kebetulan juga diundang ke pesta itu. Josephin awalnya tak pernah menyangka hal ini terjadi.

Kupandangi sekujur tubuh Josephin. Bola mata kanannya berwarna merah darah. Kaki kanannya penuh dengan bekas lebam berwarna hitam kebiru-biruan. Aku terperangah ketika dia menggulung lengan kanan bajunya dan menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah luka memar menganga.

Dari cerita Josephin aku jadi tahu penyebab luka dan memar di sekujur tubuhnya itu. Beberapa hari yang lalu suaminya mendapat kabar bahwa David, mantan pacar Josephin juga diundang ke pesta itu. David merupakan teman kerja adik Josephin.. Namun Reynold beranggapan lain. Dia curiga Josephin sengaja mengundang David untuk bisa bertemu lagi dengan mantan pacarnya itu. Semalam hal itu ditanyakan pada Josephin. Josephin tersenyum dan menjelaskan pada Reynold bahwa David memang diundang tapi oleh adik Josephin, bukan oleh dirinya.
Ah, ternyata hal ini membuat Reynold naik pitam. Kaki kanannya secepat kilat menendang perut perempuan ini hingga terjatuh. Dengan segera telapak kakinya menginjak lengan kanan Josephin berulang kali. Josephin bereteriak keras menahan sakit. Di saat itu, ibunda Reynold yang rumahnya bersebelahan dengan mereka mendatangi Josephin. Melihat menantunya diperlakukan seperti itu, orang tua itu mencoba menarik anaknya menjauhi Josephin.

Reynold tak menghiraukan ibunya. Dia berlari ke arah dapur dan mengambil sebilah pisau dapur. Baru saja pisau itu akan diayunkan ke tubuh Josephin, tiba-tiba pisau itu terlepas dari gagangnya. Mungkin ini campur tangan Tuhan, yang tak ingin agar kisah hidup Josephin berakhir seperti ini. Namun Reynold semakin kesetanan. Tangan kanannya yang kuat itu dikepalkan dan dihantamkan pada bola mata kanan isterinya.

Di saat itu tetangga mulai berdatangan. Josephin dilarikan ke rumah sakit sedangkan Reynold diamankan di rumah tetangganya. Gerald yang melihat perkelahian orang tuanya itu menangis sekuat-kuatnya. Semuanya menjadi mimpi buruk bagi Josephin, dan tentunya juga bagi Gerald.

Aku terdiam memandangi Josephin. Kuingat benar beberapa hari lalu aku dan dia telah membeli sebuah gaun cantik berwarna biru berlengan pendek untuk dikenakan Josephin pada pernikahan adiknya. Namun melihat Josephin dengan kondisi sepert ini membuatnya nyaris cacat dengan gaun barunya. Aku memandangnya lagi.

Tak kuasa kubayangkan tubuh mungil isterinya ini dihantam dengan kekuatan penuh lelaki atletis yang setiap hari kerjannya hanya fitness. Tapi tunggu dulu.Tiba-tiba aku teringat satu hal.
”Kak Reynold bekerja dimana Kak? Kita laporkan masalah ini pada atasannya”, kataku.
”Dia pengangguran”, jawab Josephin sambil tertunduk.

Aku terdiam. Pantas saja. Kekerasan dipakai sebagai senjata untuk menaklukkan isterinya, membuat perempuan ini tidak berdaya. Rasa cemburu yang berlebihan membuat Reynold tak segan-segan memperlakukan isterinya dengan kejam. Laki-laki yang tidak bekerja seringkali merasa takut dikuasai oleh isterinya yang bekerja sehingga kekerasan dianggap cara lumrah untuk menekan sang isteri.

”Aku tak pernah peduli jika dia tak punya pekerjaan tetap. Apapun pekerjannya aku selalu menghormatinya. Walau sekarang dia pengangguran toh aku selalu menghargainya sebagai seorang suami. Namun dia sama sekali tak pernah menyadari hal ini. Penampilannya juga tak mau kalah dengan laki-laki lain yang punya pekerjaan. Pakaian, sepatu, perhiasan hingga suplemen termahal selalu aku berikan padanya. Aku mencintainya tapi tak pernah jadi isteri yang baik di matanya”, Josephin menangis lagi.

”Mama, mama....”, tanpa kami sadari, Gerald, anak Josephin sudah berada didekat kami. Rupanya dia diantar pembantu.
”Mama menangis?” tanya Gerald sambil menghapus air mata ibunya dengan tangannya yang mungil. ”Kalau Gerald sudah besar, Gerald bunuh Papa nanti. Mama diam yah?” hibur anak kecil itu.

Aku memandanganya. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok yang menakutkan. Namun di tempat kami orang sering melihatnya sebagai sebuah urusan rumah tangga biasa, sebuah masalah privat yang tidak boleh dicampuri. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Seminggu kemudian ketika Josephin sedang sibuk dengan urusan pernikahan adiknya, aku pun sedang sibuk dengan sebuah urusan lain. Kisah Josephin menghantarkan aku ke Solidaritas Perempuan Flores atau SPF yang konsen menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan yang tertinggi ditangani oleh lembaga ini. Aku tahu akan ada berita baik buat Josephin.

”Bagaimana, sukses dengan acara pernikahan?” tanyaku pada Josephin suatu hari.
”Syukurlah, semuanya lancar”, kulihat senyum mengembang pada wajahnya. Matanya masih menyisakan nanar yang belum sembuh benar.
”Kak, mau tidak jadi relawan di SPF?” tanyaku.
”SPF?” kening Josephin menyimpan tanya.
”SPF itu Solidaritas Perempuan Flores. Lembaga ini memperjuangakan hak-hak perempuan dan anak khususnya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Letaknya langsung bersebelahan dengan rumah Kakak”, kataku.

Josephin terdiam.
“Bilang sama Kak Reynold. Sekali lagi dia memukul Kakak seperti tempo hari kami akan menghadapi dia”, kataku sambil tersenyum.

Kini Josephin tak pernah mengeluhkan lagi perbuatan kasar suaminya. Rupanya kehadiran SPF yang berada tepat disebelah rumahnya merupakan momok yang menakutkan buat Reynold. Namun sebaliknya bagi Josephin dan aku sendiri, SPF mengajarkan kami bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan suatu bentuk pengajaran bagi perempuan. Karena cinta tidak membutuhkan kekerasan sebagai pelajaran bukan?

0 komentar:

Posting Komentar