Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh Fatimah, Imazahra 04.18

Fatimah, Imazahra
Episode Ibunda guru Amiroh

Aku berasal dari pulau Kalimantan, yang SD nya saja sekarang telah rata dengan tanah. Namun aku punya mimpi ingin sekolah setinggi-tingginya! Aku menggenggam bara asa walau duka lara silih berganti menyapa. Alasan yang sangat klasik tapi nyata, kemiskinan membelitku seperti remukan ular kobra! Kepapaan dan tanggung jawabku sebagai anak pertama juga pernah membuatku berhenti ingin menaklukkan dunia!

Tertatih-tatih aku lawan kejamnya dunia kapitalis. Aku pastikan diri, kemiskinan tidak akan membuatku berhenti sekolah. Meski Abah menentang dan memintaku pulang. Saat itu aku duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di jantung Jogja. Sepucuk surat jatuh ke pangkuanku,

“Nak, pulanglah…! lulus tsanawiyah sudah cukup untukmu. Saat ini. kebangkrutan mendera Abah, menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim kemarau. Abah sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan video tua barang peninggalan dari Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua. Kalau kamu di sana Abah tidak tahu kamu bisa makan atau tidak, tapi kalau kamu di sini, makan tidak makan, kita hidup bersama.” Intinya, Abah menginginkanku pulang ke Banjarmasin. Berkumpul dengan keluarga berbagi derita miskin bersama-sama.

Waktu itu darah mudaku menggelegak. Aku memilih bertahan. Mengabaikan permintaan Abah. Walau aku belum tahu, kepada siapa aku bisa minta tolong?

Ketika aku menghadap ibu guru BP yang sholihah, Ibu Amiroh, pertahananku jebol. Aku tersedu-sedu di sudut ruang BP, menangis di pangkuan beliau atas pahitnya kefakiran yang ingin merenggutku dari bangku sekolah. Sampai kemudian beliau menjanjikan sesuatu,

“Nak, kalau kamu berhasil meraih ranking 1 paralel (nilai tertinggi di antara peraih juara 1 dari kelas 1 tsanawiyah s/d kelas 3 Aliyah), ibu akan usahakan agar kamu diberi beasiswa bebas SPP tahun ajaran selanjutnya. Walau saat ini kamu baru berhasil meraih rangking 3 dan 2 di semester-semester sebelumnya, ibu yakin kamu bisa!” Sambil mengucapkan kata-kata penyemangat itu, beliau menatap mataku lekat!

Masih kuingat, saat itu aku langsung menggenggam tangan beliau kuat-kuat. Seakan-akan aku tegaskan pada beliau, kemiskinan ini tidak akan membuatku berhenti! Kemiskinan ini malah akan menjadi bara abadi, bahwa aku bisa ‘mengalahkan’nya dengan pendidikan setinggi-tingginya!

Sejak itu, siang malam aku belajar seperti orang gila. Aku ‘kesetanan’ ingin membuktikan kalau aku juga bisa menjadi juara 1 paralel! Meski dalam sejarah pesantrenku selama belasan tahun, belum pernah ada juara 1 paralel dari pulau Kalimantan.

Akhir tahun ajaran tiba. Setelah sekian pengumuman dibacakan, tiba-tiba namaku dipanggil ke atas panggung di acara anugerah juara-juara kelas yang disaksikan oleh ribuan santri dari seluruh penjuru tanah air. Saat itu kakiku seperti tidak menapak tanah,

“Ananda Fatimah binti Chairi, dari kelas III B meraih juara 1 kelas IIIB daaan… Juara 1 Paralel. Kepada Ananda, kami persilahkan ke depan menerima penghargaan!” Suara bariton Pak Rusydi hampir-hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Kalimantan. Semua mengelu-elukan aku. Mataku pun basah. Beliau berhasil menghidupkan kembali harapanku sekaligus menyelamatkanku dari putus sekolah.
Belakangan aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan pembina Madrasah. Beliau ternyata tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.
***
Episode Teh Merlyna Lim
Setiap tahun aku tepati janji pada motivatorku, Ibu guru Amiroh. Aku nikmati masa-masa sekolah berasrama penuh prestasi, bahkan aku menjadi ketua OSIS.. Biarpun kemiskinan belum menjauh, Ibu Amiroh telah membukakan pintu untukku: Berprestasi dalam pendidikan adalah senjata ampuh melawan cengkeraman kemiskinan!

Lulus dari Madr. Mu’allimaat, aku bulat hati melanjutkan ke bangku kuliah, walau tanpa dukungan finansial memadai dari orang tua. Tersendat-sendat kujalani kuliah.

Di saat temanku menikmati kiriman bulanan dari orang tua mereka, aku berjibaku. Mulai menjadi guru TK sampai berdagang kue dan batik kulakoni asal halal.

Sampai pada sebuah titik, aku kehabisan energi! Aku bahkan terdesak ‘mengemis’ belas kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan.

Pada sahabatku aku mengeluh, “Rasanya belitan kemiskinan ini menakdirkanku untuk tidak berhasil meraih gelar sarjana. Aku seperti pungguk merindukan bulan!”

Aku mengalami musibah dan kekecewaan beruntun di tahun 2000. Aku mempertanyakan keadilan Tuhan. Aku lelah dan ingin menyerah. Kalah. Pulang ke Banjarmasin meski tidak membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi banyak lulusan sarjana disekitarku malah nganggur!

Hingga suatu ketika, aku temukan tulisan-tulisan moderator yang menggawangi milis Beasiswa yang ‘menampar’ jiwaku! Seri tulisannya singkat tapi menyentuh relung-relung kesadaran. Mengingatkan janjiku pada Ibunda guru Amiroh: kemiskinan harus dilawan dengan prestasi! Membangunkanku kembali pada mimpi terbesarku. Meraih pendidikan setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menderaku.

Di milis teh Merlyna membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks dalam melamar beasiswa sekaligus memenangkannya. Ribuan jam kuhabiskan mengubek-ubek isi milis, ketika aku baru selesai Kuliah Kerja Nyata di Gunung Kidul.

Nama Merlyna Lim sangat tersohor di dunia maya karena ia salah satu moderator milis yang cepat tanggap atas pertanyaan dan kesulitan membernya. Hebatnya lagi, itu semua dilakukannya ditengah-tengah jam kuliah dan penelitiannya yang padat antara Belanda, Hawaii dan Bandung!

Dari milis, aku beranjak mencari tahu tentang dirinya dengan meng-google namanya. Ratusan link muncul menunjukkan siapa dirinya. Luar biasa, Teh Merlyna adalah achiever sejati! Dia telah meraih aneka penghargaan nasional dan internasional dan saat itu dia sedang menempuh program Doktoral di Twente University, Belanda dengan beasiswa internasional yang sangat prestisius. Academic papernya juga telah dipresentasikan di puluhan negara. Aku terbius!

Semenjak itu boleh dibilang aku terobsesi sekaligus ‘iri’ padanya. Jika dia bisa menempuh pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tidak bisa? Kehebatannya di bidang akademik juga menyuntikkan bara: aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan seberat apapun tantangan yang kuhadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa S2 kalau aku belum menyelesaikan S1 ku!

Terminal Leuwi Panjang, Bandung
Hari itu aku berjanji untuk bertemu dengan Merlyna Lim! Setelah sekian lama aku hanyalah muridnya di dunia maya. Di email kuceritakan, aku mengagumi prestasinya yang mendunia di websitenya: http://www.merlyna.org/bio. Aku ingin menyedot langsung energi positif darinya.
Jelang keberangkatannya kembali ke Belanda, disela-sela kesibukannya mengurus penelitian doktoralnya, dia sisihkan waktu untukku, yang bukan siapa-siapa.

Sekitar setengah jam aku menunggu seperti anak ayam yang hilang karena gak tau Bandung. Akhirnya dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil merah. Putih, cantik, menarik, sederhana dan ramah!

Sambil bersalaman, teteh menarik tanganku, “Ayo Ima, langsung naik mobil, kita cari café yang enak.” Aku tidak tahu mau dibawa kemana, tapi yang pasti, aku langsung menyukainya!

Kami tiba di café Atmosphere yang nyaman sekali. Pemandangan yang terhampar disekeliling bukan main indahnya. Angin Bandung sepoi-sepoi perlahan mengeringkan keringatku.

Gemetar kubuka obrolan sambil menyalakan tape recorder pinjaman. Dia bercerita tentang keluarganya, hobbynya, kenangan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat. ITB dan paduan suara kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan. Juga kisah travelingnya yang seru! Meski sudah membaca blog travelingnya, http://merlynatravel.blogspot.com, tetap saja mendengarkan langsung itu asik! Dia bahkan membawakan foto backpackingnya keliling dunia, yang sudah menjangkau hampir 30 negara lebih!

Dia salah satu perempuan cerdas tapi tidak sombong yang pernah kukenal. Dia pompakan jutaan gigabyte semangat untukku! Mulai siang itu, dia ‘kudaulat’ menjadi inspiratorku, selain Ibunda guru Amiroh!

Dia balik bertanya. Dia ingin tahu hidupku. Malu-malu kuceritakan siapa aku dan mimpi-mimpiku yang tertatih-tatih kuraih. Dia besarkan hatiku, “Coba terus, Dik, kamu tidak akan pernah tahu batas kemampuanmu kalau kamu sendiri tidak mencobanya, kita moderator di milis Beasiswa, siap membantu.”

Dia Mengajariku Membagi Ilmu
Dia membuktikannya! Ketika berulang kali aku mengontak dia untuk urusan applikasi beasiswa S2 ku ke berbagai lembaga, berulang-ulang juga emailnya datang memberikan masukan-masukan yang sangat berharga. Bahkan ketika dia sedang sibuk dan di ujung dunia paling jauh sekalipun!

Di penghujung tahun 2003, aku mendapatkan kepastian: memperoleh beasiswa S2 ke Inggris dari Ford Foundation. Pendidikan tak hanya memerdekakanku dari kemiskinan harta dan ilmu, tapi juga mengantarkanku ke berbagai negara, seperti inspiratorku!

Dia mengajariku satu hal yang sangat penting, kita tidak akan pernah kekurangan sekali pun kita membagi yang kita punyai. Sebaliknya kita malah akan semakin kaya karena memberi. Seperti pesan Nabi Mulia, “Al Yadul ‘ulya khairun minal yadis sufla.” Tangan di atas (jauh lebih) mulia dibanding tangan yang di bawah.”

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Its very great story

Posting Komentar